“Jaksa itu tugasnya apa, Pak?” pancing saya lagi.
Ridwan tersenyum. “Penting. Kami penghubung. Dari polisi ke hakim. Dari awal sampai akhir. Kami yang memastikan semua berjalan sesuai aturan.”
Tantangan?
Ia menatap saya sebentar. “Menjaga keadilan untuk korban. Menjaga keadilan untuk tersangka. Keduanya.”
Diamnya setelah itu seperti palu hakim yang diketuk sekali saja.
Saya lanjut: “Jaksa, polisi, dan hakim kerja bareng itu bagaimana, Pak?”
“Seperti rantai. Saling mengikat. Kalau satu lepas, putus semua,” jawabnya singkat.
Giliran Pak Muslimin.
Nada suaranya berbeda. Hangat. Seperti bercerita pada cucu menjelang tidur.
“Restorative Justice itu bukan menghukum. Tapi memulihkan. Menyatukan.”
Ia mengulang kata-kata itu seperti mantra. Memulihkan situasi kembali, bukan semata mendamaikan
Saya tanya kapan konsep ini mulai ada.
“Sudah beberapa tahun. Ke depan, di KUHP baru 2026, akan semakin diperluas.”
Kasus yang cocok?
“Konflik ringan. Perselisihan tetangga. Perkelahian kecil. Semua yang bisa diselesaikan tanpa merusak masa depan orang.”
Lalu ia bercerita soal dua tetangga di Sidrap.
Awalnya saling lempar kata. Lalu lempar tangan. Biasanya, ini tiket cepat ke pengadilan.
Tapi kali ini berbeda. Jaksa mempertemukan mereka.
Duduk. Saling menatap. Saling minta maaf.
Tidak ada sidang. Tidak ada jeruji. Hanya dua cangkir kopi yang akhirnya habis.
Bersambung….
Tidak ada komentar