Sehari setelah HUT Kemerdekaan RI, aula kampus tampak biasa dari luar. Dari jalan, tak ada yang menandai bahwa di dalam, sebuah cerita sedang berlangsung. Tapi begitu melangkah masuk, suasananya berbeda.
Penulis: Edy Basri
Langkah kaki bergema di lantai kayu. Bisik-bisik diskusi mengalir pelan di antara kursi dan meja. Tawa ringan bercampur dengan suara pena mencatat.
Tidak ada drumband. Tidak ada lomba tujuh belasan. Yang ada hanyalah sebuah panggilan sunyi, tapi penting: integritas akademik.
Southeast Asian Academic Mobility (SEAAM) bersama kampus-kampus mitra menggelar workshop. Topiknya sederhana, tapi berat: etika penelitian. Pencegahan plagiarisme.
Menjaga kejujuran dalam karya ilmiah. Muhammad David Lung dari Turnitin hadir, menampilkan algoritma deteksi plagiarisme yang menelusuri jutaan dokumen.
Tapi yang paling menempel di hati peserta bukan teknologi. Melainkan sosok yang berdiri di depan aula: Ismail Suardi Wekke.
Ismail berdiri sederhana. Tidak berlebihan. Tidak dramatis. Hanya tatapan yang tegas, suara yang menembus ruang, dan sikap yang meresap.
Ia berbicara seperti guru tua yang membisikkan rahasia penting kepada murid-muridnya. Tentang kemerdekaan. Tentang tanggung jawab. Tentang integritas.
“Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajah,” katanya, suara lembut tapi tegas. “Kemerdekaan juga tentang bebas berpikir. Bebas berpikir dengan tanggung jawab. Integritas akademik adalah pondasi lahirnya ilmuwan dan cendekiawan yang jujur. Yang akhirnya membawa Indonesia maju.”
Ia menambahkan bahwa menjaga integritas adalah cara menghormati perjuangan para pendahulu.
“Setiap karya ilmiah yang jujur. Setiap data yang akurat. Setiap metodologi yang transparan. Itu adalah syukur kita. Itu adalah sumbangsih nyata untuk bangsa.”
Para peserta hening. Ada dosen, peneliti, mahasiswa. Mereka mencatat. Mengangguk. Kadang tersenyum. Beberapa merenung.
Beberapa menatap layar laptop, membayangkan karya ilmiah mereka sendiri. Ada rasa sadar yang perlahan menempel di kepala.
Lanjut ya…
Tidak ada komentar