Kamera televisi hanya merekam api, bukan argumen. Publik hanya melihat kekacauan, bukan isi pikiran.
Tapi Sidrap berbeda. Di sini, pesan mahasiswa tetap sampai. Bahkan sampai ke telinga Kapolres, Bupati, dan Ketua DPRD yang ikut berdiri di barisan paling depan.
Dua hari demo, dua hari pula Sidrap “memberi contoh”. Bahwa demokrasi bukan harus gaduh. Bahwa mahasiswa bisa tetap kritis tanpa harus menghunus batu. Bahwa aparat bisa tetap menjaga tanpa harus memukul.
Mungkin, kalau mau jujur, inilah demo paling indah yang pernah ada di Indonesia.
Indah bukan karena spanduknya berwarna-warni. Indah bukan karena orasinya penuh metafora. Tapi indah karena semua pihak memilih satu sikap: hadir, mendengar, menjaga.
Sidrap seolah memberi pesan ke seluruh negeri: jangan lagi takut dengan kata “demonstrasi.” Karena di tangan yang tepat, demo bisa jadi ruang silaturahmi.
Dan di Sidrap, tangan itu salah satunya bernama Fantry Taherong. Seorang Kapolres yang memilih memimpin dengan telinga, bukan dengan pentungan.(*)
Tidak ada komentar