Nepal, Katasulsel.com — Nepal kembali diterpa gelombang kericuhan yang berujung tragis. Demonstrasi besar-besaran yang awalnya digerakkan oleh penolakan publik atas praktik korupsi, kini berubah menjadi puncak kemarahan massal setelah larangan penggunaan media sosial diberlakukan pemerintah.
Situasi kian memanas usai aparat diduga terlibat dalam insiden berdarah yang menewaskan 19 orang di tengah protes, memicu gelombang solidaritas yang tak terbendung.
Kerumunan massa yang memadati pusat-pusat kota, termasuk Kathmandu, tak hanya menyorakkan kecaman, melainkan juga memperlihatkan wajah lain dari frustrasi publik. Dalam situasi kacau, sejumlah pengunjuk rasa dilaporkan berhasil merampas senjata laras panjang milik aparat kepolisian maupun militer.
Rekaman foto-foto yang tersebar menampilkan pemandangan menegangkan: demonstran membawa senjata di tengah kerumunan, sebuah simbol perlawanan sekaligus cermin rapuhnya kendali keamanan negara.
Hingga Rabu (10/9) siang, korban jiwa terus bertambah. Sedikitnya 22 orang dilaporkan tewas dalam gelombang protes dan bentrok berdarah, sementara sekitar 500 lainnya mengalami luka-luka.
Angka itu menandai salah satu tragedi sipil terbesar di Nepal dalam beberapa tahun terakhir, yang mengguncang stabilitas politik negeri Himalaya tersebut.
Demonstrasi kali ini bukan sekadar soal kebebasan berekspresi di ruang digital. Di balik kemarahan rakyat, tersimpan akumulasi kekecewaan mendalam terhadap praktik kekuasaan yang dianggap sarat penyalahgunaan dan ketidakadilan.
Kecaman terhadap pemerintah kian menguat, menuding korupsi sebagai akar dari krisis sosial yang berlarut.
Nepal, yang tengah berupaya menata demokrasi pascaperubahan rezim, kini menghadapi ujian terberat. Kerusuhan yang bermula dari pelarangan media sosial berkembang menjadi pertarungan legitimasi, di mana darah rakyat kembali tumpah di jalanan.
Dunia internasional menyoroti dengan cemas, menanti apakah pemerintah Nepal akan merespons dengan kebijakan damai atau justru memperkeras represi.
Tragedi yang berlangsung bukan sekadar peristiwa politik, melainkan alarm keras bahwa suara publik tak bisa dibungkam dengan larangan, apalagi dengan peluru.(*)
Editor: Tipue Sultan
Tidak ada komentar