Tim lalu menelusuri motor tanpa plat lewat vehicular movement analysis. Menyisir lorong, menanyai warga, menutup jalur.
Di dunia hukum, itulah scientific crime investigation. Ilmu yang percaya bahwa setiap kejahatan pasti meninggalkan jejak. Sekecil apa pun.
Rupanya. Pelaku juga tidak bodoh. Ia mematikan semua akun media sosial. Facebook, Instagram, Twitter, TikTok.
Tak hanya itu, ia juga ganti nomor dan menghapus seluruh identitas yang ada di kartu-kartu dompetnya. Membongkar bodi motor. Cuci badik yang penuh darah lalu menguburnya ke tanah.
Ia mengira dengan begitu, jejaknya semua akan hilang.
Tapi Fantry dan anggotanya bukan polisi biasa. Fantry pun sudah lama dikenal melek teknologi. Ia tahu, di dunia digital tidak ada yang benar-benar hilang. Setiap klik, setiap login, setiap pergerakan sinyal, selalu meninggalkan residu. Tinggal sabar membacanya.
Dan benar. Empat hari saja. Hanya empat hari setelah pembunuhan itu, polisi sudah mengamankan pelaku. Cepat, cepat sekali.
Bahkan sebenarnya, dua hari setelah kejadian, polisi sudah tahu siapa orang bersinglet putih di layar CCTV.
Namanya itu tadi, Yunus alias Bampe, petani dari Wajo. Bukan kriminal kelas kakap. Bukan bandit kota besar. Hanya orang desa yang kehilangan kendali karena emosi dan uang.
Yunus akhirnya menyerahkan diri. Takut. Khawatir. Ia tahu lokasinya sudah dikepung dan polisi sebenarnya bisa saja melakukan upaya paksa. Tapi perintah Fantry ke anggotanya, jangan. Hindari potensi yang bisa mencelakai, entah anggota, atau warga yang mungkin rentan.
Selain itu, sesungguhnya keluarganya juga sudah tahu. Maka, tidak ada lagi jalan lari untuk pelaku. Satu-satunya, ia harus menyerah, menyerahkan diri.
Di depan penyidik, Yunus bercerita. Ia mengaku semuanya. Mulai dari janji di Mi Chat, pertemuan di kamar, tawar-menawar sisa waktu 25 menit, gigitan, cekikan, hingga tusukan badik yang membelah leher korban.
Bersambung…..
Tidak ada komentar