Momen yang tak tergantikan.
Momen ketika dunia terasa adil.
Ketika perjuangan yang panjang akhirnya tiba di hari bahagia.
83 memang kecil.
Tapi di Lautang Benteng hari itu, 83 terasa seperti 830.
Karena setiap sarjana yang lahir bukan hanya milik keluarganya.
Tapi milik Sidrap.
Kadang bahagia itu sederhana: cukup dengan satu toga, satu ijazah, dan satu foto bersama bupati.
Dan kadang saya berpikir, siapa sebenarnya yang diwisuda hari itu?
Anaknya—yang naik panggung dengan toga?
Atau orang tuanya—yang sudah lebih dulu lulus dari universitas bernama kesabaran?
Mungkin, justru orang tualah yang pantas menyandang gelar baru: Profesor Kehidupan.(*)
Tidak ada komentar