Nurdin Abdullah Tinggalkan Perindo, Disebut Ada Benturan Karakter
Nurdin Abdullah“Kalau Perindo ingin bertahan, harus segera mencari tokoh pengganti yang tak hanya terkenal, tapi juga bisa menjadi penggerak,” kata Firdaus. “Partai seperti Perindo itu harus meniru pola Nasdem atau PDIP, yang berani menggaet tokoh lintas partai dengan basis kuat.”
Namun, ia mengingatkan bahwa membangun kekuatan politik tak bisa hanya bergantung pada nama besar.
Perindo perlu memperkuat sistem kaderisasi dan membangun ideologi yang jelas agar tidak mudah goyah saat satu figur pergi.
Dalam kaca mata analisis, pilihan Nurdin untuk mundur bisa dibaca sebagai bentuk kejujuran politik.
Ia mungkin sadar, ritme partai yang penuh intrik dan kompetisi bukanlah habitat terbaik bagi dirinya.
Gaya kepemimpinannya yang tenang dan intelektual lebih cocok untuk peran perumus kebijakan atau konseptor, bukan mesin penggerak partai yang menuntut agresivitas lapangan.
“Pak Nurdin itu bukan politisi lapangan seperti Ilham Arief Sirajuddin. Beliau bukan tipe yang berapi-api. Maka ketika diminta aktif menggerakkan mesin partai, itu tidak terlalu pas,” kata Firdaus.
Karena itu, keputusan mundur ini bisa jadi bukan akhir, tapi reposisi. Sebuah langkah untuk kembali ke jalur yang lebih sesuai dengan karakternya — akademik, konseptual, dan berjarak dari hiruk pikuk politik praktis.
Bagi Perindo, peristiwa ini harus dibaca sebagai alarm politik. Ketika partai belum punya sistem yang mapan, kehilangan satu figur besar bisa menjadi pukulan serius.
Namun bagi Nurdin Abdullah, keputusan ini justru menegaskan integritas personal — bahwa ia tahu kapan harus melangkah mundur, bukan karena kalah, tapi karena tahu medan yang ia pijak bukan lagi miliknya.
Politik memang penuh panggung. Tapi tidak setiap panggung cocok untuk semua aktor. Dan mungkin, seperti yang diisyaratkan banyak pengamat: bukan di sana tempatnya, bagi Nurdin Abdullah.
(Ulasan: Edy Basri)
Pos Terkait
Trending Post
Tidak ada komentar