Bupati, Wabup dan IJ saat hadir langsung mendukung Syaqirah Setelah acara berakhir, saya melihat Syaqirah turun dari panggung dengan langkah pelan. Ia menunduk, lalu tersenyum, lalu memeluk seseorang — ternyata Bupati. Di belakangnya ada Wakil Bupati, dan tak jauh dari mereka berdiri IJ dengan wajah lelah tapi puas.
Syaqirah tampak sederhana. Tidak seperti bintang televisi yang penuh gaya. Ia seperti anak Sidrap kebanyakan — sopan, rendah hati, dan pandai berterima kasih.
“Terima kasih, Bapak, Ibu, dan semua yang datang,” katanya pelan. “Saya tidak tahu harus bicara apa. Cuma bisa janji untuk terus berusaha lebih baik.”
Malam itu, di belakang layar, saya menyaksikan pelukan yang tulus. Tak ada protokol, tak ada kamera besar. Hanya pelukan hangat seorang anak dan pemimpin daerah yang memperlakukan dia seperti keluarga.
Kalau ada satu kata yang bisa menjelaskan suasana malam itu, maka kata itu adalah “Sipakatau.”
Dalam budaya Bugis, Sipakatau berarti saling memanusiakan. Bersaudara tanpa syarat. Saling mengangkat tanpa menginjak.
Dan itulah yang saya lihat di Studio 5 malam itu. Tak ada batas antara pejabat dan rakyat, antara kaya dan miskin, antara yang di panggung dan yang di kursi penonton. Semua menjadi satu: pendukung Syaqirah.
Inilah DNA orang Bugis yang sering tak terlihat di media. Kita sering mendengar tentang kerasnya watak Bugis, tapi jarang membicarakan kelembutannya: rasa hormat, kebersamaan, dan keinginan untuk melihat orang lain berhasil.
Dan Syaqirah, mungkin tanpa sadar, telah menjadi pembawa kembali nilai itu ke layar nasional.
Ketika acara usai dan lampu-lampu studio dimatikan satu per satu, sebagian besar penonton masih enggan beranjak. Mereka sibuk berfoto, menyapa kru, dan memeluk satu sama lain. Saya sendiri menatap panggung yang kini kosong.
Panggung itu baru saja menjadi saksi bagaimana satu daerah kecil di Sulawesi bisa membuat seluruh studio berdiri.
Di luar gedung, hujan rintik-rintik turun. Tapi tak satu pun yang peduli. Mereka masih bernyanyi pelan, mengulang-ulang potongan lagu Syaqirah malam itu. Di bawah payung, di trotoar sempit Indosiar, mereka bersorak:
“Syaqirah… Syaqirah… Syaqirah Sidrap!”
Dan saya tahu, malam itu Sidrap sedang tidak tidur.
Saya pulang ke hotel dengan pikiran penuh. Ada sesuatu yang menggelitik saya: mengapa peristiwa seperti ini terasa begitu dalam? Mengapa kehadiran seorang Bupati dan Wakil Bupati di studio hiburan bisa menggerakkan hati banyak orang?
Mungkin karena kita, masyarakat Indonesia, sedang rindu melihat pemimpin yang hadir bukan untuk bicara, tapi untuk ikut merasakan.
Syaharuddin Alrif malam itu tidak membawa protokol, tidak membawa naskah sambutan. Ia hanya membawa rasa bangga.
Dan itu cukup untuk membuat ribuan orang di Sidrap menangis bahagia lewat layar kaca.
Sementara Syaqirah telah membuktikan sesuatu yang sederhana tapi besar: bahwa anak daerah bisa bersinar di panggung nasional tanpa harus kehilangan jati dirinya. Bahwa suara dari Sidrap bisa menggema sampai Jakarta, bahkan melampaui batas layar kaca.
Saya sering berpikir: di zaman yang serba cepat ini, apakah masih ada ruang bagi kesederhanaan, bagi kehangatan yang tidak dibuat-buat?

Malam itu saya menemukannya. Di antara sorak dan musik dangdut, saya melihat wajah orang-orang yang benar-benar bahagia bukan karena menang, tapi karena merasa satu.
Satu kampung. Satu suara. Satu semangat.
Dan saya belajar sesuatu dari Syaqirah: bahwa kadang, perjuangan tidak harus besar. Cukup nyanyikan lagu dengan hati, dan biarkan orang lain mendengar kejujurannya.
Saya juga belajar dari Bupati Syaharuddin dan Ibu Nur Kanaah: bahwa pemimpin yang baik bukan yang paling banyak berbicara di podium, tapi yang paling tulus hadir di tengah rakyatnya.
Tidak ada komentar