9 Aturan untuk Wajo
Oleh : Edy Basri
Udara di Sengkang tidak terlalu panas. Matahari sudah naik, tapi belum menyengat. Ruang rapat DPRD Kabupaten Wajo terlihat seperti biasanya: rapi, formal, dan penuh rutinitas.
Kursi tersusun simetris.
Meja pimpinan berada di depan.
Mikrofon siap menyala.
Tidak ada spanduk besar. Tidak ada teriakan. Tidak ada drama.
Namun justru di ruang yang sunyi seperti inilah masa depan sebuah daerah sering kali diputuskan.
Hari itu DPRD Kabupaten Wajo menggelar Rapat Paripurna. Agendanya terdengar administratif: penetapan Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) Tahun 2026.
Kalau dibaca sepintas, orang bisa menguap.
Terlalu teknis.
Terlalu birokratis.
Padahal, di balik istilah itu tersimpan peta jalan kebijakan daerah. Di sanalah ditentukan aturan mana yang akan lahir, aturan mana yang akan diubah, dan aturan mana yang akan dibiarkan usang.
Ketua DPRD Wajo, Firmansyah Perkesi, duduk di kursi pimpinan. Di kanan-kirinya, dua wakil ketua: Andi Merly Iswita dan Andi Muh. Rasyadi. Mereka sudah terbiasa dengan suasana seperti ini.
Di deretan depan tampak Bupati Wajo Andi Rosman. Hadir pula Sekretaris Daerah, para anggota DPRD, pimpinan OPD, dan unsur Forkopimda.
Semua sesuai prosedur.
Semua sesuai tata tertib.
Rapat dibuka. Palu diketuk.
Bagi sebagian orang, ini hanya satu dari sekian banyak rapat paripurna. Tapi bagi pembuat kebijakan, inilah momen ketika daftar aturan masa depan dikunci.
Apa yang masuk daftar, akan dibahas.
Apa yang tidak masuk, akan menunggu—atau dilupakan.
Firmansyah Perkesi memulai penjelasan. Nada suaranya datar. Tapi isinya penting.
Propemperda, kata dia, bukan hasil kerja semalam. Ia disusun melalui proses panjang. Ada koordinasi. Ada pembahasan. Ada konsultasi.
Di DPRD, dapur utama penyusunan itu bernama Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda).
Di sanalah daftar kebutuhan regulasi dipilah.
Mana yang mendesak.
Mana yang bisa ditunda.
Mana yang sekadar wacana.
Semua rancangan tidak langsung disahkan. Ada satu tahap penting: Analisis Kebutuhan Peraturan Daerah.
Analisis ini bukan formalitas. Ia menjadi alat ukur: apakah sebuah perda memang dibutuhkan, atau hanya ingin dibuat.
Hasil analisis itu tidak berhenti di Wajo. Ia dibawa ke tingkat provinsi. Dikonsultasikan kepada Gubernur Sulawesi Selatan, melalui Biro Hukum Setda Provinsi.
“Provinsi itu perpanjangan tangan pemerintah pusat,” ujar Firmansyah.
Artinya jelas: aturan daerah tidak boleh berjalan sendiri. Ia harus sejalan dengan kebijakan nasional. Tidak boleh bertabrakan. Tidak boleh asal-asalan.
Firmansyah menyebut satu regulasi penting: Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Tidak ada komentar