Konflik Iran-Israel, Ketika Peluru Lebih Tajam dari Hukum Internasional
Ledakan terjadi. Dunia menoleh. Timur Tengah kembali terbakar.
Iran dan Israel bersitegang. Lagi...
Oleh: Edy Basri
Menurut saya, ini bukan semata perang dua negara. Ini adalah ujian besar.
Untuk hukum internasional. Untuk PBB. Untuk rasa keadilan kita semua.
Dulu, ada janji:
Bahwa hukum akan mengatur dunia.
Bahwa kekerasan bukanlah jalan.
Bahwa negara tak bisa seenaknya mengirim roket ke negara lain.
Tapi hari ini, janji itu terdengar seperti dongeng masa kecil.
Indah. Tapi tak berlaku di dunia nyata.
Pasal yang dilanggar
PBB sudah punya aturannya.
Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB jelas.
“Setiap negara wajib menahan diri dari penggunaan kekuatan bersenjata.”
Tapi Israel bilang: ini bukan agresi. Ini pencegahan. Ini preemptive self-defense.
Iran tidak tinggal diam.
“Bukan pencegahan,” kata mereka.
“Itu pelanggaran. Itu act of aggression.”
Ini debat lama.
Antara jus ad bellum dan self-defense.
Antara niat menyerang dan ancaman yang nyata.
Mana yang boleh? Mana yang sah? Mana yang moral?

Doktrin anticipatory self-defense pernah hidup di dokumen rahasia militer.
Hari ini, ia hidup di panggung internasional.
Tapi dunia belum sepakat.
Apakah harus ada ancaman yang “imminent”?
Atau cukup sekadar niat dan kemampuan?
Tidak ada konsensus. Tidak ada titik temu.
Hukum tanpa taring
Lalu, ke mana hukum bisa berlari?
Ke ICJ? Terlalu lambat. Terlalu prosedural.
Lagi pula, siapa mau tunduk kalau tak merasa salah?
Ke ICC? Sama saja.
Israel dan Iran bukan anggota Statuta Roma.
Mau menuntut siapa? Atas dasar apa?
Bersambung..
📢 Ikuti Katasulsel.com di WhatsApp!
Dapatkan berita terpercaya dan update setiap hari langsung di ponsel Anda.
👉 Klik di sini & tekan Ikuti