Di pagi yang cerah itu, sisa-sisa hangus masih menempel di udara. Tidak pekat, tapi cukup untuk membuat setiap langkah terasa berat, seolah tanah pun menahan ingatan malam sebelumnya.
Penulis: M. Zulfikar – Ketua IWO Enrekang
Di SMP Negeri 2 Enrekang, satu mess guru sudah rata dengan tanah. Di SMK PGRI, tiga ruang kelas di lantai dua menyisakan dinding hitam dan jendela tanpa kaca. Api datang tanpa permisi, menari dari satu sudut ke sudut lain, dan pergi meninggalkan tanya.
Rabu, 13 Agustus 2025, pukul 13.00 WITA, Tim Laboratorium Forensik Polda Sulsel datang. Tiga orang, dipimpin AKBP Wiji Purnomo, S.T., M.H. Mereka tidak datang sendirian. Personel Polres Enrekang ikut mendampingi, menyisir lokasi dengan mata waspada, langkah pelan, tapi penuh tujuan. KBO SatReskrim Ipda Irwanto, Kanit I Tipidum Ipda Sumantri, S.H., M.H., dan Aiptu Sahirun berjalan di antara puing, memeriksa setiap retak, setiap sisa arang, setiap butir abu.
“Tim Labfor bersama anggota lain melakukan olah TKP dengan pengamatan langsung, pengambilan sampel, dan pengumpulan keterangan saksi,” kata AKBP Wiji. Tapi ada jeda di kata-katanya. Jeda itu membawa pesan yang lebih besar: pekerjaan ini belum selesai. Penyelidikan masih berlanjut. “InsyaAllah, penyelidikan akan kami lanjutkan.”
Api muncul Selasa dini hari, pukul 03.00 WITA. Dalam hitungan menit, mess guru hangus, tiga ruang kelas SMK ikut terbakar. Plafon runtuh. Jendela dan pintu hangus. Atap berlubang. Dua orang menderita luka bakar: Ahmad Daeng Gading, petugas keamanan, lengan kirinya terluka, dan Daeng Bollo, penghuni mess. Total kerugian mencapai setengah miliar rupiah.
Di antara puing, aroma hangus bercampur debu. Tim Labfor bergerak perlahan. Dengan sarung tangan, mereka mengambil sampel abu, mengangkat arang, menandai titik-titik penting, sambil mencatat setiap kemungkinan. Mereka bukan sekadar petugas. Mereka adalah saksi diam, yang harus memahami perilaku api, mencari awal yang tak tampak, menelusuri rahasia yang ditinggalkan kobaran.
Di mata warga, ini tragedi. Bagi tim forensik, ini teka-teki. Setiap retakan lantai, setiap arang hitam, setiap serpihan kayu, bisa menjadi jawaban. Tapi jawaban itu tidak datang cepat. Ia menunggu laboratorium, analisis, kesabaran. Ia menunggu mereka yang mau menafsirkan jejak api.
Api sudah pergi. Tapi pertanyaannya tetap tinggal. Dari mana ia datang? Apa yang memicunya? Dan bagaimana memastikan tragedi itu tidak terulang? Jawaban itu, perlahan, ditemukan satu demi satu. Sama seperti sisa abu yang ditangani dengan teliti—diam, cermat, dan tak tergesa-gesa.
Di Enrekang, hari itu bukan hanya tentang kebakaran. Hari itu adalah tentang kesabaran, ketelitian, dan kerja diam yang menghasilkan kebenaran, satu arang, satu sampel, satu jawaban pada satu waktu. (*)
Tidak ada komentar