Penulis: Edy Basri (Pemred katasulsel.com)
Pagi itu, suasana sekolah berubah. Seperti TPS mini. Hanya saja, tidak ada bilik suara dari kardus, tidak ada tinta ungu di jari. Yang ada: secarik kertas kecil. Ada barkode di atasnya. Itulah “surat undangan” paling penting bagi para siswa hari itu.
Mereka antre. Rapi. Satu per satu barkode dipindai. Layar komputer menyala. Nama calon ketua OSIS muncul. Klik sekali—suara langsung terkirim. Tidak ada lipatan kertas. Tidak ada cerita salah coblos. Tidak ada kotak suara. Semua serba digital.
Dan yang paling mendebarkan: hasilnya bisa dilihat saat itu juga. Real count. Transparan. Tidak ada drama hitung cepat versus hitung manual. Tidak ada tuduhan suara hilang. Bahkan gosip pun tak sempat lahir. Semua jelas di depan mata.
Saya menonton, sekaligus bertanya dalam hati: kenapa cara sederhana seperti ini belum kita pakai di Pilkada?
Ketua KPU Sidrap, Saharuddin, terlihat sumringah. Ia mengucapkan selamat kepada ketua OSIS terpilih. Kata-katanya sederhana tapi sarat pesan: ini pengalaman nyata berdemokrasi. “Semoga amanah, semoga OSIS lebih maju,” katanya.
Koordinator SDM dan Parmas KPU Sidrap, Dr Akhwan Ali, juga menambahkan. Katanya, partisipasi siswa tinggi sekali. Hampir semua ikut. Tanggung jawab dan kebersamaan itu terlihat. Ia pun berterima kasih kepada para kepala sekolah. Karena tanpa dukungan mereka, demokrasi mini ini tak akan lahir.
Tapi bagi saya, justru teknologinya yang menarik. E-voting pakai barkode. Satu orang, satu kode, satu suara. Tidak bisa digandakan. Tidak bisa dimanipulasi. Sistem sederhana, tapi sekaligus rumit untuk dicurangi. Inilah transparansi yang sesungguhnya.
Saya jadi membayangkan. Bagaimana kalau Pilkada Sidrap pakai sistem ini? Atau bahkan seluruh daerah di Sulawesi Selatan. Bayangkan betapa cepatnya hasil diketahui. Betapa tipis peluang kecurangan. Betapa hemat biaya logistik. Tidak ada lagi cerita surat suara tercecer. Tidak ada lagi drama penghitungan berhari-hari.
Saya membayangkan lagi. Suatu hari, kita tidak perlu lagi berdebat soal angka. Tidak perlu lagi menunggu lama. Tidak perlu lagi ada rasa curiga. Yang ada: hasil yang keluar di layar, sama dengan yang diyakini di hati para pemilih.
Seusai pemilihan, saya sempat berbincang dengan beberapa siswa. Mereka bilang senang sekali. “Cepat, Kak. Tidak ribet,” kata seorang di antaranya. Yang lain menimpali, “Rasanya seperti pemilu betulan.”
Dan memang. Demokrasi tidak harus selalu menegangkan. Bisa juga dibuat sederhana, cepat, menyenangkan.
Pemilihan ketua OSIS ini membuktikannya. Demokrasi bisa lahir dari barkode kecil. Dari ruang sekolah. Dari tangan-tangan siswa yang baru belajar memilih. Tapi siapa tahu, justru dari sinilah kita belajar: bahwa demokrasi masa depan bisa dimulai dari hal kecil, lalu membesar. Dari Sidrap—untuk seluruh negeri.
Tidak ada komentar