Makassar, Katasulsel.com — Di balik tawa penonton dan emoji hati yang bertebaran di layar gawai, ada realitas yang jauh dari lucu. Indonesia kini menempati peringkat pertama di dunia dalam hal eksploitasi hewan di media sosial. Fakta itu bukan sekadar angka. Dari total 5.480 konten eksploitasi hewan yang dipantau Asia for Animals Coalition pada 2021, sebanyak 1.626 konten—atau hampir 30 persen—berasal dari Indonesia.
Fenomena ini menggugah sekelompok mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) untuk meneliti lebih jauh sisi gelap industri konten digital. Melalui Program Kreativitas Mahasiswa – Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH), tim lintas fakultas yang menamakan dirinya SafePaw ini mengupas praktik pelibatan hewan dalam video yang menghasilkan uang.
Tim dipimpin Besse Anisa Mufida, dengan anggota Nur Rifqah Zain, Putri Annisa, dan Andi Febriyanti, serta dibimbing oleh drh. Rian Hari Suharto, M.Sc. Riset mereka bertajuk “Eksploitasi atau Empati? Analisis Pelibatan Hewan untuk Keuntungan Finansial di Media Sosial dengan Perspektif Animal Ethics dan Animal Welfare.”
Dari 100 video hewan yang diteliti di platform Instagram, TikTok, dan YouTube, tim menemukan fakta mencengangkan: 53 persen video mengandung unsur kekejaman terhadap hewan. Hewan peliharaan seperti kucing dan anjing menjadi kelompok yang paling sering diekspos, dengan tujuan utama monetisasi lewat endorsement, iklan, dan penjualan produk.
“Banyak konten yang tampak menggemaskan, padahal hewan di dalamnya sedang stres atau dipaksa melakukan perilaku yang tidak alami,” ujar Besse Anisa.
Riset ini juga melibatkan 421 responden dari sembilan provinsi, termasuk DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sebenarnya mampu mengenali bentuk eksploitasi yang tampak jelas, seperti sabung ayam atau topeng monyet. Namun, banyak yang masih kesulitan membedakan eksploitasi terselubung di balik konten hiburan.
Seorang ahli kesejahteraan hewan yang diwawancarai dalam riset ini menegaskan, “Eksploitasi modern sering menyamar dalam bentuk yang menghibur. Begitu hewan diperlakukan tidak sesuai perilaku alaminya, di situlah etika dilanggar.”
Masalahnya tidak berhenti pada kesadaran publik. Celah regulasi membuat praktik ini terus tumbuh. Peraturan khusus yang mengatur pemanfaatan hewan di media sosial belum ada. Meskipun UU Nomor 18 Tahun 2009 dan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sudah mencakup unsur penganiayaan, implementasinya belum menjangkau dunia digital.
“Moderasi konten di Indonesia masih lemah,” ujar seorang aktivis kesejahteraan hewan yang turut diwawancarai. “Di Inggris, pelanggaran semacam ini langsung mendapat notifikasi peringatan kepada pembuat konten. Di sini, mekanismenya nyaris tidak ada.”
Bersambung…
Tidak ada komentar