Oleh: Edy Basri
Biasanya, kalau polisi bikin acara, panggungnya tinggi dan kursinya berjarak.
Tapi pagi itu, di halaman Rumah Makan Ayam Goreng Ujung Pandang, kursinya melingkar.
Tak ada mikrofon besar, tak ada jarak pangkat. Yang ada hanya kopi, tawa, dan seorang moderator muda bernama Muhammad Rafii.
Dia bukan pejabat, bukan pula wartawan senior.
Tapi caranya memandu forum bikin para perwira polisi itu betah duduk lama. Kalimatnya tenang tapi melenting dan tajam.
“Kopi sudah panas, jadi obrolannya juga harus hangat,” katanya di awal acara, disambut tawa para pengemudi ojek online dan pejabat Polda Sulsel yang hadir.
Rafii — pemuda kelahiran Palopo, 1 Agustus 1995 — kini dikenal sebagai aktivis muda Sulawesi Selatan.
Namanya akrab di kalangan mahasiswa dan jaringan organisasi sosial.
Ia pernah menjadi Sekretaris Himpunan Jurusan Pendidikan Kepelatihan FIK UNM (2010–2011), lalu melanjutkan kiprahnya di BEM FIK UNM (2011–2012) sebagai penggerak bidang advokasi sosial politik.
Tak berhenti di situ, tahun berikutnya ia dipercaya sebagai staf bidang sosial politik BEM UNM (2012–2013).
Kini, di usia 30-an, Rafii lebih banyak turun ke lapangan, menyentuh akar persoalan sosial yang tak sempat dibaca di meja birokrasi.
Dan pagi itu, di hadapan polisi dan pengemudi ojol, ia tampil bukan sebagai aktivis yang berorasi, tapi sebagai jembatan.
Acara bertajuk “Ngopi (Ngobrol Ojol dan Polri)” itu dimulai pukul 08.00 WITA, Selasa (20/10/2025).
Tapi bahkan sebelum kopi diseduh, orang-orang sudah datang. Ada yang berseragam polisi, ada yang berjaket hijau, ada yang datang dengan raut penasaran.
Rafii membuka acara tanpa teks, tanpa protokol.
“Hari ini kita tidak sedang mendengar ceramah. Kita sedang belajar saling percaya,” ujarnya pelan, tapi jelas.
Di depannya duduk para pejabat utama Polda Sulsel:
Kombes Pol Hajat Mabrur Bujangga (Dir Intelkam), Kombes Pol Anang Triarsono (Dir Binmas), AKBP Amri Yudhi (Wadir Reskrimum), AKBP Erwin Syah (Wadir Lantas), dan Kompol Dr. Saharuddin (Kasubbid Multimedia Bid Humas).
Mereka datang bukan untuk memberi ceramah, tapi berdialog. Rafii yang mengatur ritme, menyeimbangkan antara tanya dan jawab, antara keluhan dan solusi.
Ketika Kombes Hajat Mabrur Bujangga berbicara, suasana hening.
“Teman-teman ojol ini bukan sekadar pengantar makanan. Mereka saksi kehidupan kota,” ujarnya.
Rafii menimpali dengan gaya khasnya, “Mereka juga saksi kemacetan yang abadi, Pak.”
Ruang itu pun pecah dengan tawa.
Tapi begitulah Rafii. Ia paham kapan harus membuat suasana cair, dan kapan harus memberi ruang serius.
“Yang kami butuhkan sebenarnya sederhana, Pak. Polisi yang mau mendengar, bukan cuma datang setelah viral,” katanya mewakili suara komunitas jalanan.
Para pejabat menatap, mendengarkan.
“Dan pagi ini, kami melihat itu terjadi,” tambahnya.
Rafii lahir dan tumbuh di Balandai, Kecamatan Bara, Kota Palopo. Dari rumah di Jalan Dr. Ratulangi No. 10, ia dulu sering berjalan kaki ke kampus.
Ia mengaku banyak belajar dari kehidupan jalanan Palopo yang keras tapi jujur.
“Kalau mau belajar tentang tanggung jawab, lihat pengemudi ojol. Kalau mau belajar sabar, lihat polisi lalu lintas. Dua-duanya punya tekanan, tapi tetap bekerja,” ujarnya seusai acara.
Kini, Rafii dikenal bukan hanya sebagai aktivis, tapi juga moderator dan host yang kerap memimpin forum publik.
Ia “bos kecil” di jaringan aktivis muda Sulsel, mantan kader HMI yang kini lebih sering menjembatani antara masyarakat dan aparat.
Pagi itu, Rafii tidak sedang menjadi bintang. Ia menjadi penghubung.
Ia memastikan setiap pertanyaan dari pengemudi ojol tidak menguap, setiap jawaban polisi tak berputar di jargon.
“Negara akan kuat kalau aparatnya mau duduk di meja yang sama dengan rakyatnya,” katanya menutup acara.
Kata-kata itu sederhana, tapi terasa lama di kepala.
Mungkin karena diucapkan bukan oleh pejabat, tapi oleh anak bangsa dari Balandai — yang percaya bahwa perubahan besar selalu dimulai dari meja kecil dan secangkir kopi. (*)
Tidak ada komentar