Minggu, 02 Nov 2025

Hentikan Pengusutan Kasus Kekerasan Bersajam Oknum EVP PLN di Depok, Polisi Didesak Kaji Ulang RJ

Katasulsel.com
31 Okt 2025 22:22
Jakarta 0 113
5 menit membaca

Jakarta, Katasulsel.com – Tindak pidana pengeroyokan dan penganiayaan dengan menggunakan senjata tajam terhadap juru parkir (jukir) di Jalan Raya Cinere, Depok Jawa Barat, yang viral di media sosial, mulai mengundang perhatian berbagai pihak.

Kasus ini semakin menarik karena pelaku diduga kuat adalah oknum pejabat manajemen atas PT PLN (Persero) bernama Chorinus Eric Nerokou (CEN), yang menjabat sebagai EVP Bantuan Hukum.

Kasus ini pun semakin menarik perhatian, setelah diproses 1×24 jam, pelaku yang sebelumnya ditangkap bersama seorang pelaku lain yang disebut-sebut anaknya, justru tidak ditahan. Belakangan diakui bahwa pelaku sudah dibebaskan Polres Metro Depok lewat proses Restorative Justice (RJ) setelah terjadi perdamaian dengan korban. Reaksi pun mulai bermunculan.

Pengamat hukum Dicki Nelson, S.H., M.H., C.L.A. secara tegas menyatakan, bahwa tindakan seseorang yang terlihat dalam video viral di media sosial menggunakan senjata tajam (parang panjang) untuk melakukan ancaman dan kekerasan fisik terhadap juru parkir seperti yang diposting akun @depok24jam, merupakan perbuatan pidana Penganiayaan dan/atau Pengeroyokan.

“Jelas diatur dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang penganiayaan, yang berbunyi: penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

  • Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan,” tegas Dicki di Jakarta, Jumat (31/10/2025).

Kemudian, lanjut pengacara dari Dicki Nelson & Partners Law Firm ini, pelaku juga bisa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 yang berbunyi barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

“Atas tindakan tersebut juga telah menimbulkan akibat terhadap korban dan masyarakat. Perbuatan tersebut menimbulkan akibat langsung terhadap psikis korban, serta akibat tidak langsung berupa keresahan dan ketakutan masyarakat sekitar.,” ujarnya

Dalam konteks hukum pidana, sambungnya, akibat seperti ini menunjukkan adanya gangguan terhadap ketertiban umum dan rasa aman masyarakat, sehingga perkara semacam ini tidak semata-mata merupakan delik aduan pribadi, melainkan juga berimplikasi pada kepentingan publik.

“Hal ini sejalan dengan asas dalam hukum pidana bahwa setiap perbuatan yang menimbulkan ancaman terhadap ketertiban umum wajib ditindak demi kepentingan hukum dan keadilan.
Fakta lain menyebutkan bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh seorang pejabat tinggi PT PLN (Persero) yang menjabat sebagai Executive Vice President (EVP), maka tindakan kekerasan bersenjata tersebut melanggar prinsip integritas dan profesionalisme sebagaimana diatur dalam ketentuan etik korporasi.
Dalam Kode Etik dan Perilaku (Code of Conduct) PLN menjelaskan bahwa setiap insan atau pejabat PLN diharuskan untuk menjunjung tinggi kehormatan, martabat, menjaga citra perusahaan serta meningkatkan nilai perusahaan (value added),” urainya.

Selain itu, kata Dicki, ketentuan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-06/MBU/04/2021 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) mengharuskan setiap pejabat BUMN berperilaku etis, bertanggung jawab, dan menghindari perbuatan yang merusak reputasi perusahaan.
.
“Oleh karena itu PLN secara internal wajib menjatuhkan sanksi etik dan/atau disiplin jabatan terhadap yang bersangkutan sebagai bentuk akuntabilitas moral dan korporasi,” terangnya.

Menyikapi penerapan Restorative Justice (RJ) dalam kasus ini, Dicki menyebutkan bahwa dan dalam pelaksanaan RJ harus memenuhi syarat tertentu yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2022 tentang Keadilan Restoratif.

Adapun syarat dilakukannya RJ antara lain:

  1. Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;
  2. Adanya kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak secara sukarela tanpa adanya tekanan;
  3. Tindak pidana dapat dilakukan Restorative Justice terhadap kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia;
  4. Ancaman pidana di bawah 5 (lima) tahun;
  5. Bukan pelaku pengulangan Tindak Pidana berdasarkan Putusan Pengadilan;
  6. Bukan Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana terhadap keamanan negara dan Tindak Pidana Korupsi.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Portal Berita Berbadan Hukum

PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,

Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)

Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986

Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )