Jumat, 14 Nov 2025

Tumbuh Bersama Lereng Kahayya

Katasulsel.com
14 Nov 2025 14:00
Feature 0 156
4 menit membaca

Kahayya tidak pernah benar-benar sunyi, tetapi tahun ini desa itu seperti menemukan detak baru—detak yang lahir dari tangan-tangan muda yang datang bukan membawa janji, melainkan kerja nyata.

Oleh: Irma Suryani, S.Ft., Physio., M.Kes; Asdinar, S. Farm., M. Kes.; dan Bd. Iramaya Sari, S. ST., M. Kes.
Tim Program Pengabdian Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa (PM-BEM)
STIKes Panrita Husada Bulukumba

Lereng-lereng Kahayya selalu basah di pagi hari. Kabut turun cepat, menyelimuti rumah-rumah kayu yang berdiri di antara kebun kopi yang seperti tidak pernah tidur. Di desa pegunungan itu, suara mesin sangrai kini terdengar bersahut-sahutan dengan suara ayam kampung. Sesuatu sedang tumbuh. Bukan hanya kopi. Tapi cara berpikir.

Selama bertahun-tahun, petani Kahayya hidup dari kopi yang rasanya dicari orang kota, tetapi nasibnya tidak selalu membaik. Produktivitas yang mandek di angka 0,6 ton per hektar. Hasil panen yang tidak seragam. Pengolahan yang serba manual. Pasar yang tidak sampai ke mana-mana. Dan di balik itu semua, ancaman longsor membuat warga harus selalu mendengar suara tanah, bukan hanya cuaca.

Lalu datanglah sekelompok anak muda dari STIKes Panrita Husada Bulukumba. Anak-anak kampus dengan sepatu yang cepat kotor karena tanah liat, tapi matanya tajam melihat potensi dan masalah. Mereka datang bukan untuk menggurui. Mereka datang untuk menemani.

Program mereka diberi nama yang sederhana tapi tepat: “Tumbuh Bersama Lereng.”
Tahun pendanaan 2025 menjadi semacam tonggak: apakah desa di ketinggian Kindang itu bisa menanjak bersama? Atau tetap di tempat yang sama?

Kopi dan Mesin Sangrai

Suatu hari, para petani dikumpulkan. Di depan mereka, ada mesin sangrai yang masih mengilap, mesin penggiling, pengupas, dan bibit Arabika unggul. Barang-barang yang dulu hanya mereka lihat di video YouTube.

Salah seorang petani memandang mesin sangrai itu sambil bergumam, “Ini mesin atau masa depan?”

Para mahasiswa tertawa. Tapi mereka tahu itu bukan lelucon.

Pelatihan pun dimulai. Pemangkasan pohon kopi yang benar. Pemupukan organik yang tidak membuat tanah makin lelah. Cara mengusir hama tanpa memerangi alam. Dan yang paling disukai para petani: belajar memproduksi kopi bubuk sendiri—dengan kualitas yang bisa bersaing.

Hari ketika produk baru itu lahir, warga menatap kemasan bertuliskan “Kopi Kahayya” seperti melihat nama mereka sendiri di panggung kecil. Identitas desa yang dulu hanya ada di percakapan kini masuk ke bentuk yang bisa dijual, dipromosikan, difoto, dan dikirim.

Produksi meningkat hingga lebih dari 90%. Di desa, angka itu terasa seperti keajaiban.

Kesehatan yang Masuk Rumah-rumah

Jika ekonomi adalah mesin pertama perubahan, kesehatan adalah mesinnya yang kedua.

Selama ini kader Posyandu bekerja dengan alat seadanya. Tensimeter yang kadang hidup kadang mati. Timbangan yang harus digoyang dulu sebelum bergerak. Catatan kesehatan yang tercecer.

Kini, mereka punya tensimeter digital. Glukometer. Strip pemeriksaan. Termometer. Storage alat kesehatan. Dan—yang paling terasa manfaatnya—pelatihan penggunaan yang benar.

“Baru sekarang saya tahu, memegang tensimeter pun ada etikanya,” kata salah satu kader sambil tertawa.

Setelah pelatihan, 80% warga dapat dicatat kesehatannya secara rutin. Ini bukan sekadar angka: ini cerita tentang ibu-ibu yang kini tahu tekanan darahnya, tentang bapak-bapak yang sekarang bisa mendeteksi gula darah sebelum terlambat, tentang lansia yang tidak lagi dianggap “baik-baik saja hanya karena masih bisa berjalan.”

Pojok Kendali Kesehatan Keluarga menjadi tempat warga singgah sebelum berangkat ke kebun. Di situ, kesehatan tidak lagi abstrak.

Longsor: Ancaman yang Tidak Pernah Tidur

Di Kahayya, tanah bisa bergerak kapan saja. Tidak menunggu hujan besar. Tidak menunggu malam.

Karenanya, tim mahasiswa datang dengan tandu lipat, bidai, P3K, helm keselamatan, masker, hingga oksigen portable.
Di desa yang aksesnya bisa tertutup seketika, alat ini bukan sekadar perlengkapan—ini harapan.

Lebih dari itu, mereka memasang papan peringatan, merancang jalur evakuasi, dan melakukan simulasi bersama BPBD Bulukumba. Orang-orang desa, yang dulu hanya pasrah ketika tanah bergerak, kini tahu ke mana harus berlari dan siapa yang harus diselamatkan lebih dulu.

Terciptalah relawan siaga desa—anak-anak muda Kahayya yang kini berjalan membawa dua identitas: petani kopi dan penjaga keselamatan desanya.

Di balai desa, berdirilah Pojok Literasi Kegawatdaruratan, tempat warga membaca, berdiskusi, dan menyiapkan diri.

Kesiapsiagaan, ternyata, bisa dipelajari. Dan diwariskan.

Jejak di Lereng

Akhir tahun pendampingan, jalan-jalan kecil di Kahayya terasa berbeda. Ada aroma kopi yang lebih tajam. Ada suara mesin sangrai yang seolah membacakan rencana masa depan. Ada Posyandu yang lebih ramai. Ada relawan yang lebih siaga.

Dan ada satu kesadaran baru: bahwa desa tidak harus menunggu dibangun dari luar. Ia bisa membangun dirinya sendiri—asal ada yang mau memulai bersama.

Program PM-BEM 2025 ini membuktikan hal sederhana: mahasiswa bukan hanya datang membawa teori. Mereka datang membawa energi, empati, dan cara pandang baru. Mereka tidak memindahkan gunung. Tapi mereka memindahkan kemungkinan-kemungkinan.

Di lereng Kahayya, kopi tumbuh lebih baik. Warganya lebih sehat. Dan desa lebih siap menghadapi tanah yang kadang bergerak tanpa permisi.

Sisanya? Waktu yang akan bercerita. Tapi pagi-pagi di Kahayya kini punya aroma optimisme yang lebih kuat dari kabut. (*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Portal Berita Berbadan Hukum

PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,

Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)

Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986

Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )