Makassar, Katasulsel.com – Ruang sidang Pengadilan Negeri Makassar hari ini, Rabum 16 April 2025, menjadi panggung terbukanya fakta-fakta hukum dan regulatif dalam kasus dugaan peredaran kosmetik ilegal yang menyeret nama Mira Hayati, Direktur Utama PT Agus Mira Mandiri Utama.
Dua saksi ahli dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hadir untuk menjelaskan secara komprehensif pelanggaran terkait izin edar dan mutu sediaan farmasi berupa kosmetik yang diproduksi dan diedarkan oleh perusahaan milik terdakwa.
Handri Burhan, Ahli Pertama Pengawas Farmasi dan Makanan BPOM, mengungkapkan bahwa produk MH Cosmetic Night Cream milik Mira Hayati tidak pernah melalui pengujian laboratorium di Balai Besar POM (BBPOM) Makassar saat pendaftaran produk dilakukan.
Ini mencederai prinsip dasar dalam registrasi produk kosmetik yang menuntut uji mutu, keamanan, dan khasiat—yang dikenal sebagai safety, efficacy, and quality assurance dalam terminologi farmasi.
Lebih lanjut, Handri menjelaskan bahwa berdasarkan hasil verifikasi digital menggunakan aplikasi “Cek BPOM”, nomor notifikasi yang tertera pada label produk tidak sesuai dengan data valid BPOM.
Produk yang dimaksud tercatat menggunakan nomor NA 18240102429, namun hasil pengecekan menunjukan bahwa nomor tersebut bukan milik MH Cosmetic Night Cream yang mengandung bahan berbahaya berupa merkuri.
Bukti laboratorium dengan Laporan Uji Nomor: PP.01.01.20A.11.24.67 tertanggal 7 November 2024 menyimpulkan keberadaan merkuri—senyawa logam berat beracun (Hg) yang dalam ilmu toksikologi dikenal berpotensi menimbulkan gangguan neurologis, ginjal, dan kulit.
Muhammad Ridwan, Fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Madya BPOM, turut mempertegas bahwa pelanggaran tersebut secara hukum memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 435 jo Pasal 138 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ia menyebut bahwa tindakan Mira Hayati sebagai pemilik dan pengedar produk Mira Hayati Cosmetic Night dan Lightning Skin merupakan bentuk nyata produksi serta distribusi sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan persyaratan mutu, keamanan, dan khasiat.
Dalam konteks hukum kesehatan, pelanggaran ini tergolong berat karena menyangkut aspek public safety. Produk yang tidak memenuhi Good Manufacturing Practices (GMP) serta tidak melalui proses quality control akan menimbulkan risiko sistemik, baik secara kesehatan individu maupun dalam skala epidemiologis.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, menyatakan bahwa sidang akan kembali digelar pada Kamis, 17 April 2025, dengan agenda lanjutan pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Adapun Mira Hayati didakwa berdasarkan Pasal 435 jo Pasal 138 ayat (2) UU No. 17/2023, yang mengancam pidana penjara hingga 12 tahun atau denda maksimum Rp5 miliar.
Tak hanya Mira Hayati, perkara ini juga menyeret nama terdakwa lain. Agus Salim, pemilik brand Ratu Glow dan Raja Glow, dijadwalkan menjalani sidang pada 23 April 2025. Sementara Mustadir Dg Sila, terdakwa lainnya, akan menghadapi sidang dengan agenda pembacaan tuntutan JPU pada 22 April 2025.
Kasus ini menjadi preseden penting dalam penegakan hukum terhadap industri kosmetik yang kerap menjual impian kecantikan tanpa tanggung jawab etik dan saintifik. Dan dari balik meja sidang, publik mulai paham bahwa cantik instan bisa menyimpan risiko mematikan—terutama jika sains dan regulasi diabaikan.(*)