banner 600x50

Di sebuah desa kecil yang terlupakan waktu, ada sebuah rumah tua yang terletak di ujung jalan setapak. Rumah itu tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk menampung kisah-kisah lama dan kesedihan yang mendalam.

Laporan: Edy Basri (Pemred Katasulsel.com)

DI SINILAH Arif (Maaf, ini bukan nama yang sebenarnya), seorang pria tua dengan rambut putih seperti salju yang jatuh di musim dingin, menghabiskan hari-harinya yang hampa.

Saat sore menyapa dengan sinar matahari yang meredup, Arif duduk di depan jendela yang bergetar oleh angin dingin.

Hujan turun perlahan, menetes seperti air mata dari langit yang tak pernah berhenti menangis.

Setiap tetes hujan yang jatuh membentuk riak-riak kecil di genangan air di halaman, seolah-olah dunia ingin mengungkapkan rasa sakit yang tak tertandingi.

“Tidurlah dik, agar tak lagi terasa laparmu,” kata Arif dengan suara lembut, seolah mengobati kenangan yang menyakitkan.

banner 250x250

Dalam pelukan malam yang dingin, ia membayangkan adik perempuannya yang telah lama tiada. Setiap tahun, di hari-hari seperti ini, kenangan itu kembali menghampirinya, seperti bayangan yang tak bisa dihindari.

Sebelum tidur, Arif sering kali menatap bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan gelap.

Bintang-bintang yang tampaknya begitu dekat, tetapi begitu jauh untuk dijangkau.

Sama seperti harapan yang pernah ia miliki – harapan untuk kebebasan dan kebahagiaan yang sepertinya hanya merupakan ilusi.

Ia selalu berdoa, berharap bahwa adiknya dapat merasakan kedamaian di tempat lain, jauh dari kesedihan yang mengikatnya di sini.

Di tengah malam yang sunyi, suara angin yang berdesir seperti bisikan lembut dari masa lalu, Arif merenungkan nasibnya.

“Lupakan Hari Kemerdekaan,” bisiknya pada diri sendiri. “Karena memang kita tak PERNAH MERDEKA.”

Kata-kata itu bukan hanya sekadar pernyataan, tetapi sebuah pengakuan akan realitas yang tak pernah bisa diubah.

Di dalam hatinya, Arif merasa terkurung dalam sangkar emas yang penuh dengan kenangan pahit.

Dia lahir dan dibesarkan di tempat yang tidak pernah memberi kebebasan sejati.

Tempat yang menjanjikan kemerdekaan tetapi hanya menawarkan ilusi, seperti melamun dalam mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan.

Dia mengingat masa lalu dengan penuh kesedihan, dengan kesadaran bahwa segala yang pernah ia anggap sebagai harapan hanyalah cermin yang retak.

Dalam keremangan malam, saat semua orang terlelap dalam mimpi mereka, Arif melanjutkan ritualnya – menatap langit, berbicara pada bintang-bintang, dan berdoa dalam diam.

Suaranya yang lembut melawan kesunyian malam adalah bentuk terakhir dari penghiburan yang bisa dia berikan pada dirinya sendiri.

Mungkin, di ujung malam yang panjang, ada harapan kecil bahwa suatu hari nanti, meskipun tidak di sini, kebebasan sejati akan menjadi miliknya juga.

Namun, sampai saat itu datang, Arif terus melanjutkan hidup dengan kesedihan yang tak pernah benar-benar hilang, di bawah hujan musim gugur yang menetes dengan lembut, seolah ingin menghapus jejak-jejak lama yang tak bisa dihapus.

Dan dalam kesunyian malam yang terus-menerus, satu hal yang tetap pasti: di rumah tua itu, kesedihan dan kenangan akan selalu menjadi teman setia.

Pembaca yang budiman, seperti biasa, saya harus menjelaskan bahwa tulisan di atas hanyalah fiksi. Jadi, mohon maaf apabila ada kesesuian nama dan alamat. Meski begitu, ada banyak hal yang dapat dipetik menyambut HUT Kemerdekaan RI ini. (*)