Kuala Terengganu Katasulsel.com — Southeast Asia Academic Mobility (SEAAM) secara resmi mengumumkan akan menggelar sebuah pertemuan ilmiah bergengsi bertajuk Southeast Asia Islamic Young Scholar Summit 2026, yang dijadwalkan berlangsung pada 1–8 Agustus 2026 di Kuala Terengganu, Malaysia. Kota pesisir yang kaya akan sejarah dan kebudayaan Melayu ini dipilih sebagai tuan rumah karena pesonanya yang unik, sekaligus representasi dari kekayaan budaya Asia Tenggara.
Summit ini dirancang sebagai platform utama bagi para ilmuwan muda, peneliti, dan akademisi dari kawasan Asia Tenggara untuk berjejaring, berbagi hasil riset, serta membangun kolaborasi lintas disiplin dan lintas negara. Para peserta berasal dari berbagai negara anggota SEAAM, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, dan negara-negara lain di kawasan.
Fokus diskusi dalam forum ini meliputi sejumlah tantangan global yang mendesak, seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, energi terbarukan, serta teknologi di bidang kesehatan. Selama sepekan, summit akan diisi dengan presentasi ilmiah, lokakarya interaktif, pitching riset, serta dialog bersama tokoh-tokoh inspiratif dari berbagai sektor.
Dalam pernyataan eksklusif kepada Katasulsel.com, akademisi senior Ismail Suardi Wekke—yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh pendidikan Asia Tenggara dan fellow di University of South Wales (Britania Raya)—mengungkapkan pentingnya peran strategis generasi ilmuwan muda dalam menghadapi dinamika zaman.
“Ilmuwan muda adalah aset terbesar kita,” tegas Ismail. “Mereka membawa energi, kreativitas, dan perspektif segar yang dibutuhkan untuk menjawab persoalan kompleks dunia saat ini. Pertemuan ini bukan sekadar forum akademik, tetapi sebuah laboratorium kolaborasi—tempat ide-ide brilian berkembang menjadi inovasi nyata.”
Menurut Ismail, tantangan multidimensional seperti krisis pangan atau darurat iklim menuntut pendekatan lintas disiplin. “Seorang biolog bisa bekerja sama dengan ahli komputer untuk menciptakan pertanian presisi. Sementara ilmuwan sosial bisa berkolaborasi dengan pakar lingkungan untuk menyusun kebijakan berkelanjutan. Inilah ruang pertemuan dan sinergi yang kami bangun,” jelasnya.
Ia juga menekankan peran ilmuwan muda tidak sebatas di ruang laboratorium atau bangku kuliah. “Mereka punya tanggung jawab moral untuk menjadikan ilmunya bermanfaat bagi masyarakat. Untuk itu, kolaborasi harus diperluas, tidak hanya antar individu tetapi juga antar negara.”
Bersambung…
Tidak ada komentar