Makassar, katasulsel.com – Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, yang dikonfirmasi Ketua KPK Setyo Budiyanto pada 7 Agustus 2025, memicu gelombang kontroversi dan reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk tokoh politik kawakan Surya Paloh. Kasus ini sekaligus membuka tabir hubungan kompleks antara penegakan hukum antikorupsi dan dinamika politik nasional.
Setyo menegaskan bahwa OTT tersebut hanya membenarkan penangkapan sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) dan pihak swasta, sementara Bupati Kolaka Timur Abdul Azis tidak berada di lokasi saat operasi berlangsung dan dipastikan tidak terjaring. Pernyataan ini berbeda dengan isu awal yang menyebut Abdul Azis sebagai tersangka, yang kemudian dibantah oleh partai NasDem melalui Bendahara Umum Ahmad Sahroni. Sahroni menuding KPK membuat “drama” dan mengingatkan bahwa Bupati saat itu mengikuti Rakernas NasDem di Makassar.
Namun, kontroversi tidak berhenti di situ. Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem sekaligus tokoh senior politik Indonesia, mengeluarkan pernyataan keras menyoroti cara KPK menangani kasus ini. Dalam protesnya yang mendapat perhatian luas, Paloh menilai tindakan KPK sangat tidak etis dan cenderung “menghancurkan reputasi” tanpa bukti yang jelas, bahkan ketika Bupati tidak tertangkap dalam OTT tersebut. Ia mengecam KPK yang dinilai melibatkan publik dalam spekulasi dan “panggung sandiwara” yang berpotensi merusak citra lembaga negara sekaligus stabilitas politik.
Kemarahan Surya Paloh memperlihatkan bagaimana penegakan hukum di Indonesia kerap terseret dalam pusaran politik, terutama ketika sosok-sosok strategis partai ikut terlibat isu. Paloh mengingatkan agar KPK lebih berhati-hati dan profesional, mengutamakan asas praduga tak bersalah serta menghormati proses hukum formal tanpa membuat kegaduhan publik yang kontraproduktif.
Reaksi keras ini sekaligus menjadi alarm bagi KPK untuk mengevaluasi cara komunikasi publiknya. Meski niat lembaga antikorupsi untuk memberantas korupsi harus didukung, penyampaian informasi yang kurang proporsional dan terkesan terburu-buru justru mengundang kritik dan menurunkan kredibilitas KPK di mata masyarakat.
Lebih dari itu, kasus Kolaka Timur ini menggarisbawahi perlunya penegakan hukum yang bersih dari politik praktis. Partai politik, di satu sisi, harus memberikan ruang bagi proses hukum tanpa intervensi, namun di sisi lain, lembaga hukum pun harus menjaga independensi dan profesionalisme agar tidak terjerat kepentingan politik tertentu.
Sementara itu, Abdul Azis sendiri menyatakan bahwa dirinya tidak terlibat dalam OTT dan baru mengetahui kabar tersebut beberapa jam setelah berita beredar. Pernyataan ini menegaskan bahwa persepsi publik dan narasi media harus berhati-hati agar tidak mencemari nama baik seseorang tanpa proses hukum yang jelas dan transparan.
OTT KPK di Kolaka Timur dan reaksi Surya Paloh menjadi cermin kompleksitas penegakan hukum antikorupsi di Indonesia saat ini. Lembaga penegak hukum harus menyeimbangkan antara transparansi, akuntabilitas, dan kehati-hatian dalam komunikasi publik, agar tidak menjadi alat politik yang justru melemahkan perjuangan pemberantasan korupsi itu sendiri.
Masyarakat menanti KPK tampil dengan profesionalisme yang tinggi, tanpa drama, tanpa ambisi politik, dan dengan penghormatan penuh terhadap hak asasi dan proses hukum yang adil. Hanya dengan cara itu, kepercayaan publik terhadap KPK dan demokrasi hukum Indonesia dapat dipertahankan dan diperkuat.
Editor: Tipue Sultan
Tidak ada komentar