“Penundaan bukan pembatalan. Negara tidak mungkin menarik kembali keputusannya hanya karena tekanan dari sekelompok orang,” tuturnya.
Lebih jauh, Fianus mengingatkan aparat penegak hukum untuk tidak ragu menindak pihak-pihak yang mencoba menghasut masyarakat. Menurutnya, provokasi yang diarahkan untuk menghambat pelaksanaan hukum sama saja dengan tindakan melawan negara. “Kalau mau menyampaikan pendapat, silakan. Tapi kalau menghalangi pelaksanaan perintah pengadilan, itu sudah melanggar hukum,” katanya tegas.
Ia pun menyindir pandangan sebagian pihak yang menilai kekuatan hukum bisa diukur dari jumlah massa. “Kalau hukum bisa dikalahkan oleh keramaian, negara ini kehilangan wibawa. Kami di lapangan hadir bukan untuk memancing kericuhan, tapi memastikan proses hukum berjalan sesuai jalurnya,” ungkapnya.
Di sisi lain, Relawan Keadilan — wadah yang menaungi 37 organisasi masyarakat — siap membantu aparat keamanan dalam menjaga kondusivitas di lapangan. Fianus menyebut, dukungan ini bukan bentuk intervensi, melainkan solidaritas sipil untuk memastikan hukum benar-benar tegak. “Kalau ada yang dengan sengaja menghalangi pelaksanaan putusan pengadilan, jangan ragu untuk diamankan,” ucapnya dengan nada tegas.
Menutup keterangannya, Fianus menyelipkan pesan yang lebih lembut tapi sarat makna: agar masyarakat berhati-hati dalam setiap urusan tanah. Menurutnya, sengketa sering kali berawal dari ketidaktelitian pembeli dalam memeriksa keabsahan lahan. “Pelajari asal-usul tanah sebelum membeli. Koperson bukan mafia tanah. Kami berdiri secara sah sejak 1981, dengan SHGU yang terdaftar resmi. Semua proses sudah selesai di pengadilan. Kini tinggal pelaksanaannya,” pungkasnya — masih dengan senyum yang sama, namun kini tersirat keyakinan bahwa waktu akan menegaskan kebenaran.(*)
Editor: Tipue Sultan
Tidak ada komentar