
Oleh: Edy Basri
Pagi itu tenang sekali.
BTN Pucue belum sepenuhnya bangun.
Embun masih menggantung di pagar rumah.
Udara masih basah.
Dua lelaki tua berjalan santai di jalanan kompleks.
Labuare. Usman.
Yang satu purnawirawan TNI.
Yang satu pensiunan pegawai negeri.
Dua sahabat tua yang setia berolahraga setiap pagi.
Jam menunjukkan setengah tujuh.
Langkah mereka pelan.
Tiba-tiba, dari arah Posyandu Asoka 4, terdengar suara kecil.
Tangisan.
Samar.
Seperti datang dari balik mimpi.
Lalu terdengar lagi.
Lebih jelas.
Lebih menusuk.
Mereka berhenti.
Menoleh.
Lalu saling pandang.
Bukan ilusi. Itu tangisan bayi.
Mereka mendekat.
Di teras posyandu ada tumpukan barang bekas.
Kardus, seng, dan sesuatu yang tampak tak penting.
Tapi di antara tumpukan itu ada satu kardus yang berbeda.
Kardus Teh Pucuk.
Tangisan itu datang dari sana.
Labuare menunduk.
Tangannya gemetar membuka tutup kardus.
Dan di dalamnya—
seorang bayi mungil.
Laki-laki.
Masih merah.
Masih ada ari-arinya.
Dibungkus jilbab hitam.
Dialasi sarung coklat.
Dinaungi selembar seng bekas.
“Waktu lihat, saya gemetar,” kata Labuare.
Suaranya masih bergetar saat bercerita.
Tanpa berpikir panjang, mereka menelepon polisi.
Polsek Watang Pulu datang cepat.
Bidan Fitriani ikut serta.
Bayi itu dibawa ke Puskesmas Lawawoi.
Dua bidan jaga, Salasiah dan Ida Damayanti, langsung menolong.
Mereka membersihkan. Menghangatkan. Menimbang.
Beratnya 3,3 kilogram.
Panjangnya 49 sentimeter.
Kepalanya 35 sentimeter.
“Menangisnya kuat,” kata bidan.
Senyumnya lega.
Bayi itu selamat.
Sekarang dirawat di ruang bersalin Puskesmas Lawawoi.
Setelah stabil, ia akan diserahkan ke Dinas Sosial Sidrap.
Polisi masih bekerja.
Tim Inavis sudah turun.
Barang-barang di sekitar lokasi diamankan.
Orang tuanya masih misteri.
Tapi di BTN Pucue, kisah itu sudah menyebar.
Semua orang membicarakannya.
Mereka menyebutnya: bayi dari kardus teh.
Ada yang sedih.
Ada yang marah.
Ada yang hanya diam lama, menatap pagi.
Karena di dalam kardus itu, bukan hanya bayi yang ditemukan.
Ada nurani.
Ada kasih sayang yang tercecer.
Ada kehidupan yang memaksa lahir di antara seng dan kardus bekas.
Tangisnya kini berhenti.
Tapi gema suaranya masih terasa.
Pelan, tapi panjang.
Seperti doa yang belum selesai.
(*)
Tidak ada komentar