Sabtu, 20 Des 2025

KPK Hobi Tangkap Tangan…

Katasulsel.com
20 Des 2025 11:14
Opini 0 57
4 menit membaca

KPK hobi tangkap tangan. Judul yang menurut saya cukup sensi dan menakjubkan

Penulis: Edy Basri
Akademisi Bidang Ilmu Hukum

Fenomena Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang kerap dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) acap kali memantik perdebatan publik. Di satu sisi, OTT dipandang sebagai simbol efektivitas dan keberanian penegakan hukum. Di sisi lain, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa penegakan hukum kita seolah lebih bergantung pada operasi senyap ketimbang mekanisme pengawasan dan pencegahan yang sistemik?

Pertanyaan itu kembali relevan ketika publik dikejutkan oleh OTT KPK di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, yang menyeret Kepala Kejaksaan Negeri beserta dua jaksa aktif. Kasus ini bukan sekadar peristiwa hukum biasa, melainkan cermin problem struktural dalam sistem penegakan hukum kita.

Dalam perspektif hukum pidana, OTT merupakan bagian dari kebijakan penal (penal policy) yang bersifat represif. Ia hadir ketika dugaan tindak pidana telah mencapai tahap konkret, disertai bukti permulaan yang cukup sebagaimana disyaratkan Pasal 1 angka 14 KUHAP.

Banner Promosi WiFi

Secara normatif, OTT tidak bertentangan dengan asas due process of law, selama dilakukan berdasarkan kewenangan, prosedur, dan alat bukti yang sah. Namun, problemnya bukan pada legalitas OTT, melainkan pada frekuensi dan ketergantungan terhadap instrumen tersebut.

Jika OTT terus menjadi “etalase utama” penegakan hukum, maka patut dipertanyakan efektivitas fungsi pencegahan (preventive justice) yang seharusnya berjalan paralel.

Kasus Hulu Sungai Utara menghadirkan ironi klasik dalam diskursus hukum: penegak hukum yang justru melanggar hukum. Dalam teori hukum pidana, kondisi ini dikenal sebagai abuse of power atau detournement de pouvoir, yakni penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan di luar tujuan hukum.

Jaksa, secara doktrinal, merupakan dominus litis—pengendali perkara. Posisi ini memberikan kewenangan besar dalam menentukan arah penegakan hukum. Ketika kewenangan tersebut diselewengkan melalui pemerasan atau ancaman proses hukum, maka yang runtuh bukan hanya integritas individu, melainkan legitimasi institusi.

Dari sudut pandang kriminologi hukum, kejahatan semacam ini masuk dalam kategori white collar crime, bahkan lebih spesifik sebagai crime by the powerful, karena dilakukan oleh aktor yang memiliki otoritas struktural dan simbolik.

Pasal 12 huruf e dan f Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas mengatur larangan penyalahgunaan jabatan untuk memaksa pihak lain memberikan sesuatu. Namun, hukum positif sejatinya hanyalah lapisan terakhir dari sistem pengendalian sosial.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah kegagalan hukum etik dan hukum moral di internal institusi penegak hukum. Ketika mekanisme pengawasan internal tidak mampu mendeteksi atau mencegah penyimpangan sejak dini, maka OTT menjadi semacam “alat kejut” yang bekerja setelah kerusakan terjadi.

Dalam teori legal culture ala Lawrence M. Friedman, hukum tidak hanya soal substansi dan struktur, tetapi juga budaya hukum. OTT yang berulang bisa jadi menandakan bahwa budaya hukum kita masih permisif terhadap penyalahgunaan kewenangan.

Pertanyaan krusialnya: apakah maraknya OTT merupakan prestasi KPK atau justru alarm bahaya bagi sistem hukum?

Sebagai akademisi hukum, saya cenderung melihat OTT sebagai indikator kegagalan sistemik. Ia berhasil mengungkap kejahatan, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa mekanisme kontrol reguler tidak bekerja optimal.

Negara hukum (rechtsstaat) yang sehat tidak bertumpu pada kejutan, melainkan pada kepastian, konsistensi, dan pencegahan. Penegakan hukum idealnya bersifat ex ante, bukan semata-mata ex post.

KPK tentu tidak bisa dipersalahkan sendirian. Namun, ke depan, paradigma pemberantasan korupsi perlu ditata ulang. OTT harus ditempatkan sebagai ultimum remedium, bukan primadona.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Media Portal Berita Berbadan Hukum

PT WEPRO DIGITAL INDONESIA
Kemenkum HAM RI
No. AHU-0190238.AH.01.11,

Nomor Induk Berusaha: 0809240015028,
Rekening Perusahaan No: 120-003-000013438-6 (Bank Sulselbar)

Jl. Ganggawa No. 149 Tellu Limpoe, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Phone: +62 823 4898 1986

Email:
katasulsel@mail.com (Redaksi)
katasulsel@mail.com ( Marketing )
katasulsel@mail.com ( Kerjasama )