MarsoseWajo, Katasulsel.com — Sedikitnya 30 pekerja jurnalistik di Kabupaten Wajo menghadiri diskusi publik Ranperda Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang digelar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Wajo, Minggu (23/11/2025). Kegiatan berlangsung di halaman Dinas Perpustakaan Wajo dengan moderator Ketua JMSI Wajo, Muh. Nur, SE.
Tiga narasumber hadir memaparkan urgensi Ranperda KIP sebagai inisiatif DPRD Wajo 2025—meski aturan induknya, UU No.14 Tahun 2008, sudah berumur 17 tahun. Mereka adalah Ketua Pansus Ranperda KIP DPRD Wajo Amran, S.Sos., M.Si; Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Wajo Drs. H. Alamsyah, M.Si; dan Dewan Pembina JMSI Wajo, Dr. Andi Muspida, M.SP., M.Pd.
Selama sesi tanya jawab, sejumlah peserta menyampaikan aspirasi, mulai dari kendala memperoleh RAB, sulitnya konfirmasi data, hingga harapan agar perda nanti benar-benar dijalankan. Namun dari seluruh penanya, jurnalis Katasulsel.com Marsose Gala menjadi figur yang paling mencuri perhatian lewat rangkaian pertanyaan kritisnya.
Pertanyaan pertama Marsose ditujukan kepada Ketua Pansus, Amran, mengenai kepastian pelaksanaan Ranperda.
“Ranperda KIP ini nantinya mengatur kewajiban setiap OPD membuka akses informasi. Pertanyaannya, bagaimana DPRD memastikan regulasi ini tidak berhenti di atas kertas, tetapi memiliki mekanisme pengawasan dan sanksi yang benar-benar dapat memaksa OPD menjalankan keterbukaan secara konsisten?” tegasnya.
Kritik berikutnya diarahkan kepada Kadis Pendidikan, salah satu sektor yang dianggap paling sensitif.
“Sektor pendidikan sering menjadi bidang dengan informasi yang sensitif, seperti PPDB, BOS, hingga mutasi guru. Dengan hadirnya Ranperda KIP, bagaimana Dinas Pendidikan menyeimbangkan antara keterbukaan informasi dan perlindungan data pribadi agar masyarakat tetap mendapat transparansi tanpa melanggar etika informasi?” lanjut Marsose.
Pertanyaan ketiga menyasar fondasi teknis implementasi Ranperda KIP. Marsose menyoroti fakta bahwa di banyak daerah, perda serupa justru mandek.
“Banyak daerah memiliki Perda KIP tetapi mandek karena lemahnya PPID dan SOP teknis. Apa desain tata kelola di Kabupaten Wajo untuk memastikan PPID bukan hanya pejabat penunjukan, tetapi benar-benar unit pelayanan informasi yang responsif, profesional, dan akuntabel?” ujarnya.
Kritik lainnya diarahkan kepada Dewan Pembina JMSI Wajo, Dr. Andi Muspida, terkait keseimbangan hubungan media–pemerintah.
“Media siber berada di posisi unik—sebagai mitra pemerintah sekaligus pengawas publik. Model kolaborasi seperti apa yang JMSI anggap ideal agar hubungan media dan pemerintah tidak terjebak pada kedekatan yang melemahkan fungsi kontrol, namun tetap menjaga ruang dialog yang sehat?” tanya Marsose.
Pertanyaan pamungkasnya mempertegas masalah yang paling sering dihadapi jurnalis.
“Sering kali alasan ‘perlu izin pimpinan’ atau ‘informasinya masih diproses’ membuat permintaan data dari jurnalis terhambat. Setelah Ranperda ini disahkan, apa jaminan sistemik—bukan sekadar komitmen verbal—bahwa proses pelayanan informasi akan lebih cepat, terukur, dan memiliki standar waktu yang pasti?” tekan Marsose dalam forum.
Hadirnya rangkaian pertanyaan tajam tersebut membuat diskusi publik kali ini lebih hidup, menyorot sisi paling krusial dari keterbukaan informasi: konsistensi pelaksanaan. Para peserta berharap Ranperda KIP Wajo tidak hanya berhenti menjadi regulasi, tetapi benar-benar menjadi roh pelayanan informasi yang transparan dan akuntabel. (tim)
Tidak ada komentar