Genderang Pilkada telah ditabuh, menandai dimulainya dinamika Pilkada 2024. Gubernur, wali kota, bupati—semua berlarian, menyusun strategi, menggalang dukungan.
Laporan: Edy Basri
NAMUN, di balik hiruk-pikuk ini, ada satu sosok yang tak boleh terlupakan: wartawan. Di sinilah, wartawan berperan sebagai pengamat, pencerita, dan penjaga kebenaran.
Di tengah euforia, wartawan tidak hanya dituntut untuk menjadi tim media. Mereka adalah penghubung antara calon pemimpin dan masyarakat.
Sejatinya, mereka bukan sekadar alat propaganda. Mereka adalah pilar demokrasi. Dalam perjalanan ini, mereka dihadapkan pada dilema: harus berpihak atau netral?
Wartawan harus memposisikan diri dengan bijak. Apakah dia tim media yang mendukung salah satu pasangan calon?
Jika iya, itu bukan alasan untuk menutup mata. Sebab, ada tanggung jawab moral untuk memberitakan yang seimbang. Masyarakat berhak tahu.
Wartawan harus berani mengeksplorasi, mengekspose, dan mengungkapkan fakta, meski itu merugikan “tim” mereka sendiri. Ini bukan soal memilih, tetapi tentang menyajikan realitas.
Seperti halnya pelukis yang tidak takut mencampur warna untuk menghasilkan karya yang indah, wartawan harus berani mengeksplorasi berbagai sisi dari setiap pasangan calon.
Mereka perlu membedah visi, misi, dan program yang ditawarkan. Jangan sampai, terperangkap dalam kotak hitam kepentingan, yang akhirnya hanya menghasilkan berita sepihak.
Di era informasi ini, keberanian dan integritas adalah dua senjata utama. Wartawan tidak perlu takut mengekspose pasangan calon lain.
Setiap berita yang mereka tulis bisa menjadi bumerang atau pendorong bagi calon tersebut.
Namun, pada akhirnya, itu adalah risiko yang harus diambil. Sebuah pilihan yang membawa konsekuensi. Karena, di balik berita, ada etika dan tanggung jawab sosial.
Menghadapi Pilkada 2024, wartawan diharapkan menjadi jembatan yang kokoh. Jembatan antara harapan dan kenyataan.
Antara suara masyarakat dan suara calon. Dengan keahlian menulis dan ketajaman analisis, mereka bisa memberikan perspektif baru.
Mereka harus mampu menggali suara-suara yang terpinggirkan, mengungkapkan harapan-harapan yang terpendam, dan menyuarakan aspirasi rakyat.
Sejatinya, wartawan adalah detak jantung demokrasi. Di tengah bisingnya mesin politik, mereka harus mampu merangkai kata-kata menjadi berita yang bermakna.
Berita yang bukan hanya menegakkan fakta, tetapi juga membangun kesadaran. Kesadaran bahwa Pilkada bukan sekadar ajang memilih, tetapi momen menentukan masa depan.
Dengan demikian, dalam setiap detik berita yang mereka tulis, terdapat harapan. Harapan untuk menciptakan pemimpin yang amanah, yang bisa mendengar dan mengayomi rakyatnya.
Jadi, tidak ada ruang untuk terkotak-kotak. Wartawan, meski berpihak, tetap harus tegas pada prinsipnya. Mereka harus tetap berdiri di garda terdepan untuk menegakkan kebenaran.
Pilihan ada di tangan mereka: menjadi penjaga yang adil, atau menjadi sekadar suara dalam kerumunan. Pilihlah, dan tulislah dengan hati.(*)
Tinggalkan Balasan