
Di utara Pulau Buton, tersembunyi kisah yang terukir dalam batu. Buton Utara Tak Lupa, Sejarahnya Masih Bernyawa
Laporan: Edy Basri
EREKE, ibukota Buton Utara, bukan sekadar titik di peta, melainkan simpul sejarah yang menyatukan jejak masa lalu dengan denyut kehidupan modern.
Benteng Kalisusu berdiri kokoh di sana, bukan sekadar susunan batu karang, melainkan saksi bisu kegigihan para leluhur dalam menjaga marwah dan martabatnya.
Seperti tameng yang melindungi tubuh dari ancaman, Benteng Kalisusu bukan hanya soal pertahanan fisik, tetapi juga simbol ketahanan budaya.

Dengan panjang dinding mencapai 3.700 meter, benteng ini membentang seperti pelukan kokoh yang menjaga jantung Ereke dari serangan musuh di masa lampau.
Pintu-pintu benteng menjadi gerbang menuju masa lalu, lorong waktu yang mengisahkan betapa tangguhnya peradaban di tanah ini.
Batu gamping dan batu karang yang menyusun benteng ini bukan sekadar material mati, melainkan saksi dari perlawanan terhadap bajak laut dan ancaman luar.
Setiap retakan di dindingnya menyimpan kisah heroik, setiap sudutnya menggemakan langkah para leluhur yang tak gentar menghadapi zaman.
Jika arsitektur bisa berbicara, maka Benteng Kalisusu berbisik tentang pengaruh luar yang diadaptasi dengan kecerdasan lokal.
Modelnya mengingatkan pada benteng-benteng Eropa seperti Fort Rotterdam di Makassar atau Nieuw Victoria di Ambon.
Namun, di tangan masyarakat Buton Utara, benteng ini bukan hanya pertahanan militer, tetapi juga ruang spiritual dan politik.
Di dalamnya, terselip masjid tua, tempat para pemimpin bersumpah setia pada negeri.
Bersambung…
Ada makam-makam kuno yang menjadi pengingat akan keberlanjutan darah pejuang.
Ada tembikar dan porselin yang menandakan hubungan dagang lintas lautan, membuktikan bahwa Buton Utara bukan sekadar wilayah terpencil, melainkan simpul peradaban yang terkoneksi dengan dunia luar.
Ereke hari ini bukan lagi kota benteng yang menyiapkan tombak dan perisai, tetapi kota yang tengah membangun dirinya dengan semangat yang sama.
Benteng Kalisusu mungkin tak lagi menghadapi serangan fisik, tetapi nilai-nilai yang diusungnya tetap relevan: ketahanan, adaptasi, dan kehormatan.
Di balik tembok batu itu, ada cerita yang terus hidup. Tidak hanya di buku sejarah, tapi juga di dada setiap anak Buton Utara yang mewarisi semangat nenek moyangnya.
Sejarah bukan untuk dikenang semata, tetapi untuk diteruskan dalam wajah baru, dalam perjuangan yang kini bernama pembangunan.(*)