
Jakarta, Katasulsel – Penanganan perkara dugaan penggelapan dalam jabatan oleh penyidik Polresta Jambi menuai kecaman. Kuasa hukum Yanuardi, Ferry Simanullang, S.H., M.Hum., dan Ruth Devi, S.H., secara resmi melaporkan penyidik ke Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), dengan tudingan telah melanggar prinsip profesionalisme serta asas hukum acara pidana.
Dalam konferensi pers di Jakarta, tim kuasa hukum mengungkap bahwa laporan pidana terhadap klien mereka berawal dari audit keuangan yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki legalitas sebagai auditor resmi.
“Ini bukan sekadar persoalan legalitas, tetapi tindakan audit tersebut kami nilai sebagai bentuk perampasan. Tidak ada serah terima pembukuan, tidak ada mandat, hanya pengambilan paksa dari kantor perseroan. Ironisnya, hasil audit inilah yang dijadikan dasar laporan pidana,” tegas Ferry Simanullang.
Kuasa hukum juga menyoroti sikap penyidik yang dianggap gegabah menerima legalitas pelapor hanya bermodalkan Akta Pendirian. Padahal, menurut Akta Nomor 4 tanggal 11 September 2020, Pasal 5 ayat (3) dan (4), kepemilikan saham harus dibuktikan dengan surat saham atau surat keterangan resmi dari perseroan — dokumen yang, hingga kini, tidak dimiliki pelapor.
“Pelapor belum pernah menyetor dana untuk saham yang diklaimnya. Secara hukum, ia bukan pemegang saham yang sah. Namun anehnya, penyidik tetap memproses laporan ini, mengabaikan fakta hukum tersebut,” tambah Ruth Devi.

Sengketa kepemilikan saham dan struktur internal perusahaan saat ini tengah diproses melalui jalur perdata. Dua perkara aktif tercatat di Pengadilan Negeri Jambi: permohonan penetapan (No. 5/Pdt.P/2025/PN Jmb) yang kini dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung, serta gugatan wanprestasi (No. 153/Pdt.G/2025/PN Jmb) terhadap pelapor karena belum menyetor saham.
Mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1956, apabila perkara pidana menyangkut hak-hak perdata yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, maka proses penyidikan wajib ditangguhkan.
“Ini bukan tafsir, tapi norma hukum yang jelas. Namun permintaan kami untuk menunda penyidikan telah diabaikan, meski kami telah mengirimkan dua surat resmi pada 7 Januari dan 10 Maret 2025,” kata Ferry dalam konferensi pers di kantor KOMPOLNAS, Jalan Tirtayasa VII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (21/4/2025).
Ironisnya, meski proses perdata masih berlangsung dan belum inkracht, penyidikan justru ditingkatkan. Pada 6 Maret 2025, Polresta Jambi mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Negeri Jambi, menandai peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan. Pemanggilan saksi-saksi pun dilakukan secara intensif.
“Ini preseden yang berbahaya. Proses hukum cacat sejak awal, tapi tetap dilanjutkan dengan intensitas tinggi. Kita patut bertanya: ada apa di balik ini semua?” tegas Ferry.
Kuasa hukum menyatakan bahwa laporan ke KOMPOLNAS bukan semata-mata bentuk keberatan administratif, melainkan tuntutan serius untuk evaluasi menyeluruh terhadap kinerja penyidik dalam perkara ini.
“Kami mendesak Ketua KOMPOLNAS, Bapak Budi Gunawan, untuk turun tangan. Ini bukan laporan biasa, tapi sinyal adanya disfungsi dalam proses penegakan hukum. KOMPOLNAS harus hadir sebagai penjaga akuntabilitas institusi Polri,” tutur Ruth Devi.
Menutup pernyataannya, Ferry Simanullang menegaskan bahwa pihaknya bukan menolak proses hukum, melainkan menolak kriminalisasi dalam ranah bisnis yang seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata.
“Kami tidak menolak hukum, tapi kami menolak penyalahgunaan hukum. Kriminalisasi lewat jalur pidana terhadap urusan saham yang bahkan belum dibayar adalah bentuk intimidasi hukum. Ini yang harus kita lawan,” pungkasnya. (Wahyu Widodo/Jakarta)
Tinggalkan Balasan