
Sidrap, katasulsel.com — Aiptu Yohanes Pulang, Dalam Hening yang Tak Lagi Sama.
Angin pagi itu lembut. Tapi tak mampu menyeka duka yang menggantung di langit Sidrap, Rabu pagi, (23/4). Sebuah hari yang tak biasa bagi keluarga besar Polres Sidrap.
Keranda itu, pelan bergerak. Diangkat penuh hormat oleh Kapolres dan Waka Polres, dua atasan terbaik bagi almarhum. Jalannya. Diiringi langkah berat, sunyi.
Iya. Kapolres Sidrap, AKBP Fantry Taherong, dan Wakapolres KOMPOL Sulkarnain, memang tak sekadar hadir. Keduanya mengusung keranda almarhum. Memikul bukan hanya jenazah. Tapi kenangan. Pengabdian. Dan kehilangan yang tak terdefinisikan.
Aiptu Yohanes telah pergi. Selamanya.
Satu nama. Seribu kenangan.
Di mata Kapolres, Ia bukan sekadar polisi. Ia penjaga malam. Sahabat pagi. Sosok disiplin yang tak pernah meminta lebih dari tugasnya. Seorang public servant yang setia pada sumpahnya. Dalam istilah psikologi sosial, dia adalah “altruist in uniform” — seseorang yang menempatkan keselamatan orang lain, di atas dirinya sendiri.
Wajah-wajah yang hadir, tampak murung. Ada yang menunduk. Ada yang menggenggam erat tangan sesamanya. Seperti sedang berpegangan, pada yang tak bisa dicegah: kematian.
Duka adalah bahasa universal.
Dan pagi itu, semua fasih mengucapkannya.
Pemakaman dilakukan secara kedinasan. Rapi. Terhormat. Sesuai protokol institusi. Ditandai penghormatan terakhir—terukur, tetapi penuh rasa. Ada parade senyap. Ada tabur doa. Ada tangis yang tak bisa ditahan.
Kapolres berkata, lirih,
“Almarhum adalah teladan. Ia tak hanya hadir. Ia membangun nilai. Ia menghidupi institusi dengan ketulusannya.”
Beberapa rekan tampak meneteskan air mata. Tak semua bisa menahan. Proses katarsis terjadi—sebuah luapan emosi alamiah saat seseorang menghadapi kehilangan mendalam.
Istri Almarhum, berdiri tegak. Tapi matanya sembab. Anak-anaknya, memeluk erat. Seakan tahu, ayah tak akan kembali.
Namun warisannya, tak akan lenyap.
Di balik kepergiannya, ada pelajaran. Tentang dedikasi. Tentang keberanian. Tentang hidup yang sepenuhnya dipersembahkan, bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk masyarakat.
Dalam teori eudaimonia, Aristoteles menyebut kebahagiaan tertinggi adalah ketika seseorang hidup untuk tujuan yang lebih besar dari dirinya. Itulah Aiptu Yohanes. Ia tak mencari pujian. Ia hidup untuk makna.
Kini, ia berpulang.
Tapi namanya, hidup dalam ingatan.
Dalam hormat.
Dalam doa.
Selamat jalan, Bhayangkara sejati.
Bumi Sidrap mencatat jasa-jasamu.
Langit mengiringi kepergianmu.
Dan kami… tak akan melupakanmu.
(*)
Tinggalkan Balasan