Example 650x100

Buton Utara, katasulsel.com – Laut bukan hanya air dan gelombang. Ia adalah ruang hidup. Di Kulisusu Utara, Kabupaten Buton Utara (Butur), ruang hidup itu kini retak. Pelakunya: pemboman ikan.

Bukan isapan jempol. Bukan sekadar rumor nelayan. Tapi realita yang mengikis masa depan mereka, satu ledakan demi ledakan.

Praktik destruktif ini bukan sekadar melanggar hukum. Ia merobek jantung ekosistem. Terumbu karang luluh lantak, tempat ikan berkembang musnah. Ledakan bawah laut membunuh lebih dari sekadar ikan—ia membunuh harapan.

Yang lebih menyakitkan, para pelaku bukan warga lokal. Mereka datang dari luar daerah. Tak membawa rasa hormat, hanya ambisi. Mereka ambil hasil laut, tinggalkan kerusakan.

“Dulu, kami bisa melaut dekat pantai, hasilnya cukup. Sekarang harus ke tengah laut, jauh, lama, tapi ikan makin sedikit,” keluh seorang nelayan lokal, Minggu (13/4/2025).

Example 970x970

Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU Fishing)—itulah istilah globalnya. Tapi di sini, istilah itu punya wajah. Wajah nelayan yang kecewa. Wajah laut yang murung.

Bom ikan bukan hanya persoalan konservasi. Ini krisis keberlanjutan. Saat karang hancur, ikan pergi. Saat ikan pergi, nelayan kehilangan harapan. Siklusnya kejam.

Masyarakat Kulisusu Utara tak tinggal diam. Mereka bersuara, mendesak aksi nyata. Mereka ingin laut dijaga. Mereka ingin pelaku ditindak. Mereka ingin masa depan.

“Kami tak menolak orang mencari nafkah. Tapi jangan dengan cara brutal. Jangan hancurkan laut kami,” tegas seorang tokoh nelayan.

Seruan ini bukan ancaman. Ini panggilan darurat ekologi. Pemerintah daerah, aparat keamanan laut, hingga lembaga konservasi, diminta hadir. Bukan besok. Tapi sekarang.

“Kulisusu Utara butuh perlindungan. Sekarang. Sebelum semuanya terlambat,” ucap warga lainnya, menutup suara dengan harapan.

Laut bukan hanya soal ekonomi. Ia soal identitas, warisan, dan kehidupan. Jika Kulisusu Utara kehilangan lautnya, maka kita semua kehilangan lebih dari sekadar ikan.(*)