
Jakarta, katasulsel.com —Pernyataan eksplisit Ketua Dewan Pers Republik Indonesia, Dr. Ninik Rahayu, telah mengoreksi kekeliruan konseptual yang selama ini mengaburkan pemahaman publik tentang status hukum perusahaan pers di Indonesia.
Dalam siaran resminya tertanggal 27 April 2025, ia menegaskan bahwa keberadaan perusahaan media yang sah secara hukum tidak ditentukan oleh terdaftar atau tidaknya entitas tersebut di Dewan Pers.
Argumen hukum yang dibawakan Dr. Ninik bertumpu pada tafsir yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya asas lex generalis dalam kebebasan mendirikan dan menjalankan perusahaan pers.
UU ini tidak menetapkan kewajiban pendaftaran atau verifikasi ke Dewan Pers sebagai syarat formil berdirinya suatu media. Selama perusahaan berbadan hukum Indonesia dan secara rutin melaksanakan kegiatan jurnalistik, keberadaannya dilindungi oleh konstitusi dan hukum positif yang berlaku.
“Fungsi Dewan Pers adalah melakukan pendataan, bukan membuka pendaftaran,” tegasnya. Pernyataan ini bukan hanya bersifat administratif, namun secara substantif memperjelas bahwa Dewan Pers bukan regulator dalam arti pemegang otoritas legalisasi, melainkan lembaga independen yang menjalankan fungsi facilitative dan normative guidance bagi dunia pers.
Menurut Dr. Ninik, proses verifikasi Dewan Pers bersifat sukarela dan hanya bertujuan meningkatkan kualitas profesionalisme, mempertebal public trust, serta memperkuat perlindungan hukum terhadap pelaku jurnalistik. Namun, tidak adanya verifikasi tidak serta merta menihilkan legalitas suatu perusahaan media.
Pernyataan ini memiliki implikasi struktural terhadap lanskap industri pers di Indonesia, yang selama ini kerap diwarnai asumsi semu bahwa hanya media terverifikasi yang memiliki legitimasi.
Padahal, dalam kerangka hukum pers, legitimasi itu melekat pada pemenuhan unsur-unsur normatif dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, bukan pada status administratif semata.
Dengan semakin dinamisnya ekosistem informasi dan munculnya ribuan media baru berbasis digital, klarifikasi ini penting agar tidak terjadi misinterpretasi atau bahkan praktik delegitimasi terhadap media yang sah namun belum terverifikasi oleh Dewan Pers.
Sebaliknya, verifikasi sebaiknya dilihat sebagai instrumen penjamin mutu, bukan alat penentu eksistensi hukum.
Di tengah pergeseran paradigma media ke arah yang lebih desentralistik dan berbasis komunitas, pendekatan hukum yang inklusif seperti ini menjadi krusial. Legalitas media harus tetap berpijak pada prinsip rule of law yang menjamin kebebasan berekspresi, bukan pada praktik administratif yang cenderung eksklusif.
Dewan Pers, melalui pernyataan ini, telah membuka ruang yang lebih adil bagi ragam entitas pers yang hadir di Tanah Air. Kini, tanggung jawab utama berada pada insan pers itu sendiri untuk terus menjunjung integritas jurnalistik, terlepas dari keberadaan mereka dalam daftar verifikasi. (*)
Tinggalkan Balasan