Example 650x100

Pinrang, katasulsel.com — Di tengah semarak panen raya, saat tumpukan gabah seharusnya menjadi simbol keberhasilan, kenyataan di Kabupaten Pinrang justru membuat banyak petani mengelus dada.

Senyum yang biasanya mengiringi musim panen berubah menjadi keluhan panjang, dibumbui rasa bingung, marah, dan kecewa. Bukan karena hasil panen yang sedikit. Bukan karena hujan yang mengguyur. Tapi karena satu hal: Bulog yang entah ke mana?.

Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) sudah ditetapkan sebesar Rp6.500 per kilogram. Tapi angka itu di lapangan hanya sebatas informasi. Sebatas harapan. Nyatanya, petani malah seperti bermain tebak-tebakan. Jual ke siapa? Hubungi siapa? Serahkan ke mana? Semua serba tidak jelas.

Petani GA dari Kecamatan Duampanua menumpahkan unek-uneknya. Ia bingung, lelah, dan nyaris pasrah. “Sinyal ada, gabah ada, tapi pembeli dari Bulog? Entah di mana,” katanya, Minggu 13 April 2025. Ia mengaku, gabah yang terlalu lama dibiarkan bisa rusak. Apalagi kalau harus menunggu hingga enam hari tanpa kejelasan. Sementara jika tengkulak yang beli, malam ini panen, besok pagi gabah sudah tak terlihat di lantai jemur.

Cepat. Efisien. Tapi menyakitkan. Karena potongan harga dari tengkulak tidak main-main. “Potongannya juga banyak,” ujarnya, nada pasrah tapi menyiratkan rasa kecewa yang dalam. Ia tahu, menjual ke tengkulak itu seperti menyerah. Tapi bagaimana lagi? Gabah bukan benda mati. Bisa rusak. Bisa busuk. Dan petani butuh uang cepat untuk menutup biaya tanam dan hidup sehari-hari.

Example 970x970

Muhammad Rusdi, petani lain dari kecamatan yang sama, juga merasakan hal serupa. Bahkan ia mengibaratkan sistem penyerapan gabah oleh Bulog seperti mobil mogok. Diam. Macet. Tak bergerak. “Petani dibiarkan menunggu. Ini bukan antre tiket konser, ini gabah! Bisa rusak kalau kelamaan,” katanya, dengan nada geram yang tak bisa ditahan. Baginya, ini bukan hanya masalah teknis, tapi soal perlakuan terhadap petani yang sudah kerja keras.

Akhirnya, jalan pintas menjadi pilihan. Jual cepat ke tengkulak. Harga boleh miring, tapi setidaknya gabah tak rusak. Modal bisa kembali. Sisa bisa dipakai makan. Hidup terus berjalan, meski dengan luka kecil di hati.

Lanjut..

Luas lahan sawah di Pinrang tak main-main. Mencapai 51.124,38 hektare. Didominasi sawah irigasi sebanyak 44.165,47 hektare. Produksi padi melimpah. Tapi sistem penyerapan seperti kehilangan arah mata angin. Gudang tidak jelas. Armada tak muncul. Petani seperti dibiarkan menebak-nebak, berharap pada sistem yang tak menyentuh.

Ketua PP-KPMP, Anmar, ikut bicara lantang. Ia tak ingin Bulog cuma sigap di atas kertas. Ia menegaskan bahwa Bulog harus lebih dari sekadar institusi penyerap. Harus jadi mitra aktif petani. Harus hadir sampai desa. “Armada angkut harus siap, gudang jangan sampai penuh, dan sistem penyerapan harus masuk sampai desa-desa. Jangan cuma semangat di atas kertas,” tegasnya.

Ia mendorong Bulog memperluas jaringan mitra. Jangan sampai kewalahan setiap musim panen. Jangan sampai petani dibuat frustrasi. Karena di balik tumpukan gabah itu, ada keringat. Ada harapan. Ada keluarga yang menanti hasil.

Petani kecewa. Panen raya yang seharusnya jadi pesta, justru berubah jadi musim panen keluhan. Dan kalau kondisi ini dibiarkan, bukan cuma gabah yang rusak. Tapi kepercayaan petani juga bisa hancur. Padahal, kalau petani mundur, siapa yang mau menanam?

[follow judul_gnews=”Baca kami di Google News” url_gnews=”https://news.google.com/publications/CAAqKQgKIiNDQklTRkFnTWFoQUtEbXRoZEdGemRXeHpaV3d1WTI5dEtBQVAB?ceid=ID:id&oc=3&hl=id&gl=ID” judul_wa=”Ikuti WA Channel Katasulsel.com” url_wa=”https://whatsapp.com/channel/0029Vaj6suo0bIdwWDi9FC0b”]