
Dunia sedang bergelombang. Harga komoditas bergerak liar, nilai tukar berayun, dan tarif ekspor menjadi senjata baru dalam geopolitik internasional.
Oleh: Abdul Hafid As Baso Spi M.I.Kom
WAKIL SEKJEN DPP MKGR dan Anggota BSN Partai Golkar
DI TENGAH pusaran ketidakpastian ini, Indonesia—sebagai negara berkembang dengan fondasi ekonomi besar—tidak boleh sekadar menjadi penonton. Ia harus menjadi aktor yang gesit, bijak, dan visioner.
Presiden, sebagai nahkoda negara sekaligus kepala pemerintahan, kini berada di simpang jalan sejarah.
Ia harus berani mengambil langkah-langkah strategis yang bukan hanya reaktif, tetapi juga proaktif; bukan hanya jangka pendek, melainkan berlandaskan visi jangka panjang yang tahan uji zaman.
Diversifikasi ekspor adalah napas pertama dari strategi itu. Terlalu lama Indonesia bergantung pada komoditas primer: batu bara, sawit, nikel. Ketergantungan seperti ini adalah pintu masuk bagi ketidakstabilan.
Kita butuh wajah baru dalam peta ekspor—produk-produk bernilai tambah tinggi, berbasis inovasi dan teknologi. Dari sektor pertanian organik berstandar internasional, produk kreatif berbasis budaya, hingga industri hijau yang menjadi tuntutan era baru.
Namun diversifikasi tidak bisa berjalan di atas jalan berlubang. Peningkatan infrastruktur adalah fondasi kedua yang harus diperkokoh.
Pelabuhan yang modern, jalan logistik yang cepat, dan jaringan transportasi yang terintegrasi adalah kunci membuka dunia. Tanpa infrastruktur yang efisien, sebaik apa pun produk kita, ia akan kalah di persaingan global.
Di balik itu, kita butuh lebih dari sekadar kuantitas. Kita butuh kualitas yang tak terbantahkan. Di sinilah pentingnya peningkatan daya saing.
Mendorong riset, membangun pusat inovasi, memberi insentif pada perusahaan yang berani bereksperimen dan meningkatkan kualitas, adalah langkah-langkah tak terhindarkan. Dunia tidak menunggu. Dan bangsa yang terlambat berinovasi akan tergerus ombak perubahan.
Namun, tak ada negara yang benar-benar mandiri di era globalisasi. Kerja sama internasional harus menjadi pilar keempat dalam merespons gejolak ini.
Menegosiasikan akses pasar, membangun aliansi dagang baru, memperkuat perjanjian regional, dan aktif di forum multilateral, adalah jalan memperluas ruang gerak ekonomi nasional.
Kita tidak cukup hanya menjadi bagian dari percaturan global, kita harus memengaruhi arahnya.
Di sisi lain, badai global hanya bisa dihadapi dengan stabilitas domestik. Kebijakan fiskal yang disiplin, moneter yang berhati-hati namun responsif, serta reformasi struktural yang konsisten, akan membentuk jangkar kepercayaan—bagi rakyat, bagi pelaku usaha, dan bagi investor.
Tanpa stabilitas, semua strategi akan rapuh seperti istana pasir.
Lebih dari itu, pertumbuhan sejati tidak lahir dari perdagangan luar negeri saja. Ia mesti bertumbuh dari dalam.
Pengembangan sektor riil—manufaktur, pertanian modern, ekonomi kreatif, hingga jasa berbasis teknologi—harus menjadi darah yang mengalir dalam nadi pembangunan nasional.
Tinggalkan Balasan