Example 650x100

Sidrap, katasulsel.comPegiat hukum di Sidrap, Sulawesi Selatan, H. Huser. R, S.E., S.Pd., S.H., M.H.menilai bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sangat penting dan mendesak untuk disahkan karena menawarkan pendekatan yang lebih cepat dan efektif dalam memulihkan aset hasil tindak pidana.

Dalam pandangannya, RUU ini lebih unggul dalam konteks efisiensi Negara dibanding Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

“UU Perampasan Aset memungkinkan Negara mengambil alih aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu pelaku divonis. Mekanismenya Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB), sangat penting untuk memberantas korupsi yang sistemik dan rumit,” ujar Huser yang juga seorang akademisi, Sabtu, 3 Mei 2025.

Sementara UU TPPU menurutnya lebih menekankan pada proses pembuktian hukum terhadap pencucian uang dan pihak-pihak yang terlibat, yang bisa memakan waktu panjang dan berujung pada lambatnya pemulihan aset Negara.

“Kedua undang-undang ini saling melengkapi, tapi jangan sampai hanya TPPU yang dijalankan. Tanpa RUU Perampasan Aset, Negara kerap tertinggal dalam merebut kembali uang rakyat yang dicuri,” tegas Huser, eks penyidik kepolisian ini.

Sementara itu, dukungan terhadap RUU ini mendapat momentum kuat ketika Presiden RI Prabowo Subianto secara terbuka menyatakan dukungannya dalam peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Lapangan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025).

“Saudara-saudara, dalam rangka pemberantasan korupsi, saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Saya mendukung!” tegas Prabowo dari atas panggung, disambut gegap gempita oleh massa buruh.

Lebih lanjut, Prabowo menyindir keras perilaku para koruptor:

“Enak aja, sudah korupsi, masa tidak bisa dirampas untuk negara?”

Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat, khususnya kaum buruh, untuk bersatu melanjutkan perlawanan terhadap koruptor. “Bagaimana? Kita teruskan perlawanan terhadap koruptor?” pekiknya, dijawab serentak oleh buruh: “Setuju!”

Sayangnya, RUU ini mangkrak di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meski Jokowi sudah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR pada Mei 2023, pembahasannya tidak kunjung dilakukan hingga akhir masa jabatan DPR periode 2019–2024.

Huser menyebut kegagalan politik itu sebagai tamparan keras bagi agenda reformasi hukum di Indonesia.

“RUU ini sebenarnya sudah dipelajari sejak 2008 oleh PPATK. Tapi kalau DPR masih menjadikan ini komoditas politik, maka koruptorlah yang diuntungkan,” katanya.

Kini, dengan sikap tegas Prabowo, publik menanti apakah DPR benar-benar akan mendorong RUU ini masuk dalam Prolegnas 2025 dan segera dibahas secara serius.(*)