Example 650x100

Inisiatif Kementerian terkait yang menggagas kehadiran apotik dalam jejaring Koperasi Desa Merah Putih merupakan langkah strategis dalam mengintegrasikan pelayanan kesehatan berbasis komunitas dengan sistem ekonomi gotong royong.

Oleh: Dr.apt. Maryono, S.Si, M.Si. (Akademisi-Ketua Projo Sidrap)

KONSEP ini bukan hanya menjawab problematika klasik akses obat murah di wilayah rural, namun sekaligus merevitalisasi esensi koperasi sebagai alat pemenuh kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat, dalam bingkai filosofi keadilan sosial.

Integrasi Apotik dan Klinik: Model Efisiensi Pelayanan Primer

Integrasi apotik dengan layanan klinik merupakan bentuk supply chain simplification dalam sistem kesehatan primer. Model ini menawarkan efisiensi logistik dan meningkatkan compliance pasien terhadap pengobatan.


Pasien yang menerima resep dari tenaga medis tak perlu mencari obat di tempat lain, cukup menuju apotik koperasi.

Secara teoritis, pendekatan ini mendekati konsep integrated health delivery system, yang mampu mengurangi therapeutic delay dan mempercepat proses penyembuhan.

Bayangkan masyarakat pelosok yang sebelumnya harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk memperoleh obat, kini hanya berjalan kaki ke apotik koperasi di desanya. Ini adalah bentuk konkret healthcare accessibility, yang tak hanya menyehatkan tubuh warga, tetapi juga menyehatkan struktur sosial.

Obat Murah: Pilar Keadilan dalam Kesehatan

Obat generik, baik berlogo maupun bermerek, bahkan dalam beberapa kasus obat paten, menjadi solusi krusial dalam menciptakan affordable treatment. Strategi ini sejalan dengan prinsip equity in health, di mana kesehatan tidak boleh menjadi hak eksklusif bagi mereka yang mampu secara finansial.

Kehadiran apotik koperasi desa akan mengurangi fenomena catastrophic health expenditure—yakni kondisi di mana keluarga miskin harus menjual aset atau berutang demi memperoleh layanan kesehatan. Ketika koperasi hadir memberi kemudahan bagi anggotanya yang kesulitan membayar obat, maka koperasi telah menjalankan fungsinya sebagai social safety net.

Tantangan Implementatif: Dari Keterbatasan hingga Manajemen

Namun, idealisme tidak dapat berjalan tanpa kesiapan sistemik. Ada sejumlah tantangan implementatif yang perlu dicermati:

  1. Ketersediaan Obat yang Sesuai dengan Profil Epidemiologi Lokal
    Persediaan obat harus dikaitkan dengan data prevalensi penyakit di desa. Idealnya, apotik menyimpan 2000–3000 jenis obat yang mencakup kebutuhan penyakit mayoritas. Ini merupakan penerapan prinsip evidence-based inventory planning.

  2. Rendahnya Literasi Farmasi
    Rendahnya pemahaman masyarakat desa tentang fungsi dan cara kerja obat menjadi tantangan. Di sinilah letak pentingnya peran edukatif apoteker sebagai pharmaceutical educator, bukan semata drug dispenser. Edukasi publik tentang mekanisme aksi obat (mechanism of action) dan interaksi obat (drug interaction) dapat meningkatkan adherence pasien terhadap pengobatan.

  3. Terbatasnya Fasilitas Pendukung
    Dalam fase awal, prioritas harus diberikan pada penyediaan alat diagnostik sederhana (tensi, gula darah, asam urat). Kehadiran point-of-care testing ini akan membantu apoteker memberikan clinical decision support, seperti menyarankan metformin pada pasien dengan hiperglikemia.

  4. Manajemen dan Kelangsungan Finansial
    Apotik koperasi tidak cukup hanya hadir; ia harus hidup dan tumbuh. Maka manajemen keuangan yang transparan dan rasional mutlak diperlukan. Di India, margin keuntungan 20% bisa dicapai koperasi apotik. Ini menjadi rujukan bahwa economic sustainability dan social benefit bukan dua hal yang saling meniadakan. Pendapatan dari margin obat dapat dialokasikan untuk menggaji apoteker, asisten, dan perbaikan layanan.

Koperasi sebagai Agen Kesejahteraan Holistik

Kehadiran apotik dalam struktur koperasi desa adalah pengejawantahan konkret dari Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi bukan sekadar entitas ekonomi, tetapi juga instrument of public welfare. Dalam konteks ini, Koperasi Desa Merah Putih menjadi wajah modern dari ekonomi berbasis komunitas yang inklusif dan partisipatif.

Program ini juga mengingatkan kita bahwa negara hadir tidak hanya dalam bentuk regulasi, tapi juga dalam aksi nyata yang menyentuh aspek kehidupan paling elementer: kesehatan.

Penutup: Dari Visi Menuju Aksi

Apotik Koperasi Desa Merah Putih adalah blueprint masa depan pelayanan kesehatan desa. Ini bukan hanya tentang distribusi obat, tapi tentang distribusi harapan dan rasa aman.

Dengan manajemen yang cermat, peran apoteker yang aktif, dan kolaborasi multi-sektor, maka cita-cita menghadirkan obat murah dan mudah akan menjadi realitas, bukan sekadar wacana.

Inisiatif ini layak diapresiasi sebagai manifestasi keberpihakan negara terhadap rakyat kecil, sekaligus menjadi model replikasi nasional bagi daerah-daerah lain. Sebab kesehatan bukanlah komoditas, melainkan hak asasi setiap warga negara.(*)