
Makassar, katasulsel.com – Dari pelosok Gilireng, Kabupaten Wajo, lahirlah sosok luar biasa yang kelak menorehkan tinta emas dalam sejarah pendidikan dan pemerintahan di Indonesia. Namanya Prof. Dr. Ahmad Amiruddin. Ia bukan sekadar ilmuwan.
Ia adalah arsitek peradaban. Pemimpin yang berpikir jauh ke depan. Akademisi yang berani mengeksekusi ide besar. Dan birokrat yang menjadikan ilmu sebagai pondasi utama kebijakan.
Lahir pada 25 Juli 1932, Ahmad Amiruddin muda menempuh pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB), sebelum melanjutkan studi doktoral ke University of Kentucky, Amerika Serikat, dan meraih gelar Ph.D. di bidang kimia nuklir—sebuah cabang ilmu yang tak banyak digeluti di Indonesia saat itu.
Keahliannya dalam bidang ini membuatnya dikenal sebagai salah satu ilmuwan nuklir terkemuka di Indonesia, sekaligus bukti bahwa potensi anak bangsa dari daerah terpencil mampu bersaing di panggung dunia.
Namun, kiprah Prof. Ahmad Amiruddin tidak berhenti di laboratorium. Ia memilih jalan pengabdian yang lebih luas: membangun manusia dan institusi. Pada 1973, beliau diangkat menjadi Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) ke-6.

Dalam masa kepemimpinannya yang berlangsung hingga 1982, ia menggagas dan merealisasikan proyek besar pemindahan kampus Unhas dari Baraya ke Tamalanrea—langkah monumental yang mencerminkan visi futuristiknya.
Ia tak hanya membangun gedung, tetapi meletakkan fondasi masa depan universitas. Pemindahan kampus ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 17 September 1981, menandai babak baru dalam sejarah pendidikan tinggi di kawasan timur Indonesia.
Visinya yang melampaui zamannya juga terlihat ketika ia dipercaya menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan selama dua periode, dari 1983 hingga 1993. Dalam kepemimpinannya, ia memperkenalkan konsep ekonomi modern berbasis tiga prinsip utama: pengwilayahan komoditas, perubahan pola pikir, dan sistem petik-olah-jual.
Program ini dirancang sebagai strategi integratif yang menjadikan Sulawesi Selatan sebagai daerah penyangga pangan nasional. Ia menggabungkan pendekatan teknokratik dengan kearifan lokal, sebuah model pembangunan yang kini menjadi acuan dalam banyak studi kebijakan publik.
Lanjut
Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya dalam membangun Unhas dan meningkatkan kapasitas pendidikan tinggi di Indonesia timur, nama Prof. Ahmad Amiruddin diabadikan sebagai nama aula utama di Fakultas Kedokteran Unhas: Aula Prof. Amiruddin. Menariknya, meskipun beliau tidak berasal dari disiplin ilmu kedokteran, penghormatan ini diberikan karena perannya yang signifikan dalam pembangunan kampus dan penguatan institusi, termasuk di bidang kesehatan.
Pada 7 Maret 2025, penghargaan atas dedikasi dan kontribusinya kembali dikenang dalam peluncuran buku “A. Amiruddin, Nakhoda dari Timur” edisi revisi, yang diselenggarakan di Hotel Unhas, Kampus Unhas Tamalanrea. Acara ini dihadiri oleh para akademisi, keluarga almarhum, dan tokoh pendidikan. Lexy M. Budiman, inisiator buku tersebut, menekankan pentingnya mengabadikan pemikiran dan warisan intelektual Prof. Ahmad Amiruddin sebagai inspirasi bagi generasi penerus.
Prof. Ahmad Amiruddin wafat pada 21 Maret 2014, di usia 83 tahun. Namun warisannya hidup dan terus tumbuh. Dalam bentuk pemikiran. Dalam bentuk kebijakan. Dalam bentuk nama yang tertulis di aula, tapi terpatri kuat dalam sejarah intelektual bangsa.
Dari Gilireng untuk Indonesia, Ahmad Amiruddin adalah bukti bahwa pemimpin besar tak hanya lahir di pusat kekuasaan, tetapi dari nurani yang tajam, ilmu yang mendalam, dan semangat yang tak pernah padam untuk mengabdi.(moi)
Tinggalkan Balasan