Example 650x100

Di pagi yang syahdu di Sidrap, di antara gedung-gedung UMS Rappang yang megah, seorang nama muda bersinar di dunia akademik internasional. Namanya; Sandi Lubis., S.I.P., M.A.P. Tapi, saya terbiasa memanggilnya Adinda Sandi, atau Pak Sandi saja.

Laporan: Edy Basri

USAI memarkir kendaraan di area barat kampus. saya pun melangkah menuju Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tempat dimana Pak Sandi biasa saya lihat.

Seolah-olah saya dan Pak Sandi sudah janjian bertemu, padahal sesungguhnya tidak. Dari jauh, Pak Sandi melihat kedatangan saya, ia menyambut dengan senyum lebar.

Pagi itu, Pak Sandi mengenakan batik lengan panjang bermotif etnik, ganteng dan berkacamata.

Kesan pertama yang langsung terasa adalah energi positif dan kerendahan hati — dua kualitas langka yang menggambarkan seorang akademisi yang baru saja mengukir prestasi yang diakui.

“Saya kira Pak Edy akan kesulitan menemukan saya di kampus,” selorohnya sambil tertawa ringan, memecah suasana, Selasa, 29 April 2025.

Obrolan kami segera mengalir ke karya teranyarnya: artikel ilmiah berjudul “Synergizing AI and Blockchain: A Bibliometric Analysis of Their Potenting for Transforming E-Governance in Smart Cities,” yang berhasil terbit di jurnal Frontiers in Sustainable Cities — jurnal bergengsi di kuartil Q1 bidang Urban Studies , terindeks Scopus .

“Awalnya, ini hanya mimpi kecil,” kata Pak Sandi sambil mengaduk secangkir kopi hitam di hadapannya. “Tapi lambat laun, mimpi itu saya dekati lewat kerja keras, kegigihan, dan, tentu saja, belajar dari kegagalan.”

Melalui metode bibliometrik , Sandi menguraikan bagaimana kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan blockchain yang berpotensi menyinergi untuk memperkuat tata kelola elektronik (e-governance) di kota pintar masa depan.

Ia menganalisis ribuan dokumen, memetakan penelitian klaster, dan menemukan fakta menarik: meski kedua teknologi ini berkembang pesat, kolaborasi keduanya dalam praktik nyata masih sangat jarang.

“Saya ingin dunia akademik tidak hanya berhenti pada konsep tataran. Kita perlu mendorong integrasi yang konkret,” tegasnya.

Pak Sandi lalu bercerita panjang lebar tentang lika-liku perjalanannya. Penolakan ( desk penolakan ), komentar pedas dari reviewer, revisi berulang — semua itu pernah ia alami.

“Setiap surat penolakan saya simpan,” katanya sambil tersenyum. “Bagiku, itu bukan aib. Itu bukti perjalanan.”

Ia meyakini bahwa dalam dunia akademik, ketahanan jauh lebih penting daripada sekadar kecerdasan. Dalam 18 bulan terakhir, ia berhasil mengumpulkan enam dokumen terindeks Scopus , dan tahun ini menargetkan empat publikasi tambahan di jurnal bereputasi tinggi seperti Springer Nature dan Taylor & Francis .

Kesuksesannya tidak berdiri sendiri. Ia menyebut nama-nama besar yang membimbingnya: Prof. Achmad Nurmandi , Prof. Jamaluddin Ahmad , Prof. Eko Ganis , Prof. Titin Purwaningsih , dan Prof. Hazel Jovita dari Filipina.

“Mereka bukan hanya membimbing teknis penelitian saya,” kata Sandi. “Mereka mendorong saya untuk berpikir melampaui batas, berpikir global.”

Bersama para mentor ini, Sandi belajar pentingnya membangun jejaring ilmiah internasional , mengasah ketajaman analitis , serta menjaga integritas akademik di tengah derasnya tekanan publikasi.

Di sela-sela wawancara saya itu, Pak Sandi tampak sekali tak ingin puas hanya dengan prestasi pribadinya. Ia berbicara tentang misinya:

“Saya ingin membuktikan, dosen dari daerah, dari Sidrap, dari UMS Rappang, bisa bersaing dan berkontribusi di pentas global.”

Tak hanya sekadar ambisi, ia juga aktif memotivasi rekan-rekannya. “Harus ada positive contagion,” ujarnya. “Semangat publikasi harus menular.”

Prof Jamaluddin Ahmad , Rektor UMS Rappang, dalam sebuah sesi terpisah, mengungkapkan kebanggaannya.

“Sandi adalah bukti nyata bahwa transformasi akademik itu mungkin. Beliau adalah ‘virus positif’ untuk seluruh sivitas akademika.”

Menjelang akhir wawancara, saya bertanya: apa yang sebenarnya menjadi bahan bakar di balik semangatnya?

Sandi merenung sejenak sebelum menjawab, “Mungkin karena saya percaya, bahwa ilmu itu bukan hanya soal prestise. Ilmu adalah warisan peradaban.”

Sambil melangkah keluar dari ruangannya, saya melihat kembali sosoknya: sederhana, bersahaja, tetapi membawa semangat besar. Seorang dosen dari Sidrap yang tengah menapaki melaju menuju masa depan — masa depan akademik Indonesia yang lebih cerah dan lebih berani.

Dan benar adanya, dosen “masa depan” itu berasal dari UMS Rappang di Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini . (*)