Example 650x100

Jakarta, Katasulsel.com – Entah apa yang sedang diminum para penyusun Undang-Undang BUMN baru, tapi rasanya manis sekali bagi para direksi dan komisaris. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2025, mereka kini resmi ‘dilepaskan’ dari jeratan KPK, seperti ikan emas yang tak boleh dijaring, meski berenang di kolam anggaran negara.

Ya, benar. Mulai 24 Februari 2025, berdasarkan Pasal 9G dalam UU tersebut, anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan lagi dianggap penyelenggara negara. Artinya, meski mereka bermain-main dengan dana publik, KPK tak bisa lagi bertindak atas nama pemberantasan korupsi.

Pertanyaannya sederhana: kalau bukan penyelenggara negara, lalu mereka ini siapa? Penjaga kas raksasa? Operator badan usaha? Atau cukup disebut “manajer kreatif” yang bebas improvisasi?

Padahal, dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, objek utama lembaga antirasuah ini adalah penyelenggara negara. Sekali status itu dicabut, maka para petinggi BUMN bisa tersenyum lega. Kini mereka bisa mengelola triliunan rupiah tanpa takut “disapa” penyidik KPK.

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyampaikan bahwa pihaknya tengah mengkaji implikasi aturan tersebut. “Perlu ada kajian, baik itu dari Biro Hukum maupun Kedeputian Penindakan,” ujarnya, Senin (5/5/2025).

Kajian ini, kata Tessa, penting agar KPK tetap bisa menjalankan tugasnya tanpa melanggar undang-undang. “Kalau memang saat ini bukan merupakan penyelenggara negara yang bisa ditangani oleh KPK, ya, tentu KPK tidak bisa menangani,” ujarnya pasrah namun diplomatis.

Presiden Prabowo sebelumnya berkomitmen menutup keran kebocoran anggaran. Tapi tampaknya, keran di BUMN kini dilengkapi katup khusus: hanya bisa ditutup dari dalam.

Dengan perubahan status ini, para direksi dan komisaris BUMN bisa jadi sedang merayakan “Hari Kemerdekaan dari KPK.” Sementara rakyat, seperti biasa, hanya bisa menonton dari balik pagar transparansi yang semakin buram.

Sungguh ironi. Ketika rakyat disuruh hemat, elite korporat justru diberi kekebalan. (*)