
Jakarta, Katasulsel.com – Atmosfer politik jelang Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mulai menunjukkan gejala konstelasi kepemimpinan yang kian kompetitif.
Di tengah pusaran nama-nama elite nasional seperti Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman dan Sekjen PPP Arwani Thomafi, muncul satu figur yang mengundang perhatian: Andi Amran Sulaiman (AAS).
Nama AAS, Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Maju, kian menguat setelah Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono menyiratkan percepatan jadwal Muktamar.
Bagi sebagian kalangan, sinyal ini bukan sekadar pergeseran agenda—tetapi indikasi pergeseran sumbu pengaruh politik internal partai berlambang Ka’bah.
Menurut Dr. Andi Lukman Irwan, pengamat politik Universitas Hasanuddin, keberadaan Amran sebagai figur potensial tak lepas dari kekuatan modal simbolik yang ia miliki—dalam hal ini, rekam jejak di sektor pertanian nasional, jejaring bisnis strategis, dan identitas etno-kultural yang kuat.
“PPP ini punya basis elektoral loyalistik. Jika AAS masuk sebagai Ketua Umum, maka partai telah mengamankan satu variabel penting dalam pertarungan elektoral: captured constituency,” jelas Lukman.
Dukungan terhadap Amran tidak bersifat linier atau tunggal. Fenomena ini lebih mirip jaringan neuron, di mana simpul-simpul dukungan berasal dari berbagai spektrum: elite PPP seperti HM Amir Uskara, hingga figur lintas partai seperti Idrus Marham, Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus tokoh sentral KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan).
“Amran bukan hanya populer, tapi punya track record governance dan kapasitas managerial di atas rata-rata,” ujar Idrus. “Figur seperti ini yang dibutuhkan, baik oleh PPP maupun oleh KKSS.”
Idrus menilai, keberadaan Amran dalam struktur kepemimpinan KKSS ke depan adalah bentuk strategi konsolidasi diaspora, yakni memperkuat keterhubungan warga Sulawesi Selatan di berbagai wilayah Indonesia melalui kepemimpinan yang visioner dan operasional.
Sebagai mantan pengusaha pupuk dan inovator pertanian, Amran Sulaiman membawa perspektif bioekonomi ke dalam ruang publik. Konsep ini melihat potensi pertanian sebagai pilar ekonomi berkelanjutan berbasis sumber daya hayati.
Dalam konteks politik, pendekatan bioekonomi ini bisa menjadi narasi alternatif pembangunan yang menyentuh akar kebutuhan rakyat.
Di saat partai-partai tengah mengalami krisis figur, AAS justru muncul sebagai metafora ‘hibrida’ politik dan teknokrasi—mengawinkan efektivitas kepemimpinan teknis dengan pemahaman struktural terhadap dinamika politik lokal dan nasional.
Kini, Muktamar X PPP tidak lagi sekadar forum internal. Ia menjelma sebagai panggung transisi, tempat para elite menata ulang struktur legitimasi, sekaligus membentuk ulang peta ideologi partai dalam menghadapi kontestasi politik ke depan.
Jika AAS resmi masuk bursa, maka bukan hanya PPP yang bersiap menghadapi babak baru, melainkan juga lanskap politik Islam Indonesia yang selama ini mengalami fragmentasi antara pragmatisme dan puritanisme.(*)
Tinggalkan Balasan