
Sidrap tak hanya ikut panen raya nasional, tapi berhasil mencuri perhatian di tengah sorotan Presiden Prabowo di Majalengka.
Laporan: Tipoe Sultan
Editor: Edy Basri
LOKASINYA berada di Kelurahan Bangkai, Kecamatan Watang Pulu, Sidrap, riuh rendah. Padi menguning serempak.
Suara mesin combine harvester berbaur dengan tawa petani. Ada semacam semangat kolektif yang terasa di udara.
Bukan panen biasa, ini panen raya nasional. Dan Sidrap tak cuma ikut, tapi tampil menonjol.

Presiden Prabowo Subianto sendiri, memimpin panen serentak ini dari Majalengka, Jawa Barat.
Berangkat dari Halim Perdanakusuma, ia naik helikopter Caracal milik TNI AU.
Sementara itu, di Bumi Nene Mallomo, Bupati Sidrap Syaharuddin Alrif, didampingi Wabup Nurkanaah, Ketua DPRD Takhyuddin Mase, Dandim Letkol Inf Awaloeddin, Kapolres Dr Fantry Taherong, dan Dewan Pengawas Bulog, ikut turun ke sawah bersama ratusan petani.
Mereka semua bagian dari satu gerakan besar: membuktikan Indonesia bisa mandiri pangan.
Sidrap memang bukan pemain baru dalam dunia pertanian. Tapi kini, kabupaten ini sedang naik kelas.
Dari sekadar lumbung padi Sulsel, menuju laboratorium agrikultur nasional. Hal itu terlihat dari sejumlah transformasi yang sedang digalakkan.
Salah satu ikon utamanya adalah program pompanisasi.
Di mata awam, ini cuma soal mesin pompa air. Tapi di baliknya, tersembunyi penerapan teori hidrologi dan agronomi tingkat lanjut.
Bupati Syaharuddin, yang bergelar magister dan anak petani ini, menjelaskan: “Pompa ini bukan cuma alat. Ini simbol transisi.”
Tujuannya jelas: menaikkan indeks pertanaman (IP). Sebelum ada pompa, IP di Sidrap mentok di angka 100—artinya sekali tanam setahun.
Kini? Naik ke 200, bahkan 300. Dua sampai tiga kali tanam dalam satu tahun. Efeknya bukan cuma ekonomi, tapi juga sosial. Petani jadi lebih mandiri. Ini semacam revolusi kecil di hamparan sawah.

Sejak 2024, lebih dari seribu pompa disebar. Strateginya matang, berbasis peta air tanah, data iklim mikro, hingga potensi aliran sungai.
Petani tak lagi bergantung pada hujan. Mereka mulai adaptif. Kata Dr. Amin Nur dari Balai Pengujian Standar Instrumen Tanaman Serelia Kementan RI, ini bukan proyek karbitan.
Ini hasil dari perencanaan yang presisi dan kolaboratif.
Sidrap kini seperti makhluk dalam teori biomimetika—mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Resilien, fleksibel, dan tetap produktif.
Tapi cerita tak berhenti di pompa. Sidrap juga menggarap lahan rawa. Dulu dianggap tak produktif, sekarang jadi ladang baru harapan.
Dari jatah 4.050 hektar, banyak yang sudah digarap maksimal. Bahkan dibentuk pula Brigade Pangan—semacam satuan tugas berbasis komunitas, yang mengelola masing-masing 200 hektar.
Pendekatannya semi-militeristik, tapi partisipatif. Disiplin ada, tapi juga gotong royong. Efisiensi bertemu solidaritas.
Sementara itu, lahan kering—yang secara hidro-edafik tergolong sulit—juga dilirik. Dari 18.000 hektar yang diajukan ke pusat, 3.000 hektar sudah disetujui untuk dioptimalkan.
Bersambung…
Tahap selanjutnya adalah studi kelayakan (SID), yang mengkaji potensi dari segi geomorfologi, tekstur tanah, dan kapasitas air tanah.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Pemkab Sidrap tak sedang bermain-main. Mereka serius, sistematis, dan progresif.
Syaharuddin Alrif dan Wabup Nurkanaah bukan cuma pejabat. Mereka pemimpin yang berpikir jauh ke depan, dan paham bahwa masa depan pertanian tak bisa dibangun hanya dengan cangkul dan doa.
Kini pertanian di Sidrap berbasis data, teknologi, dan semangat kolektif. Koordinasi antara Pemkab, TNI-Polri (Kodim dan Polres), kelompok tani, penyuluh, dan pemerintah pusat berjalan mulus.
Kata Muhammad Fajri Salman dari DTPHPKP Sidrap, ekosistem pertanian Sidrap hari ini ibarat simbiosis mutualisme—semua saling mendukung, semua saling tumbuh.
Bagi petani, apa yang dulu jadi beban kini jadi kebanggaan. Hasil kerja mereka diakui di tingkat nasional.
Sidrap jadi satu dari 12 kabupaten di Sulsel yang masuk dalam agenda panen raya bersama Presiden. Dan itu bukan karena kebetulan, tapi karena kerja keras dan inovasi yang nyata.
Kini, dari balik helai-helai padi yang menguning itu, tumbuh pula kepercayaan diri baru.
Bahwa pertanian Indonesia bisa maju. Bahwa Sidrap bisa jadi model. Bahwa petani, jika diberi alat dan ruang untuk berkembang, akan menjawab dengan hasil yang membanggakan.
Di Sidrap, pertanian bukan lagi sekadar cara bertahan hidup. Ia telah menjadi fondasi untuk membangun peradaban baru—yang hijau, mandiri, dan bermartabat.(*)
Tinggalkan Balasan