Example 650x100

Makassar, Katasulsel.com — Ketika Kabupaten Gowa mencatat penurunan persentase penduduk miskin menjadi 6,85 persen per 30 November 2024—turun 0,57 persen dari tahun sebelumnya—pertanyaan yang lebih luas muncul: apakah tren ini seragam di seluruh Sulawesi Selatan? Tidak juga.

Dengan total populasi Gowa sebanyak 806.910 jiwa menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka tersebut menempatkan kabupaten ini di posisi ke-18 dari 24 kabupaten/kota, menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan belum tentu berarti kemajuan yang merata.

Dalam perspektif ekonomi regional, angka kemiskinan bukan sekadar persentase statis. Ia adalah representasi dari multi-dimensional poverty index (MPI), indeks kompleks yang memuat keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak.

Soppeng, misalnya, dengan angka kemiskinan 6%, bukan hanya menandakan resistensi struktural terhadap krisis ekonomi mikro, tetapi juga mengindikasikan stabilitas pada distribusi fungsi produksi rumah tangga.

Sementara itu, Kabupaten Barru dan Pinrang—masing-masing di angka 8%—menunjukkan performa ekonomi yang mulai mendekati zona stabil, walau masih dalam kategori vulnerable to shock.

Perlu dicatat bahwa kedua wilayah ini memiliki karakteristik geospasial yang serupa, yakni konektivitas lintas wilayah dan ketergantungan tinggi pada sektor primer seperti pertanian dan perikanan. Ketahanan ekonomi rumah tangga di dua kabupaten ini tengah memasuki fase rebalancing, terutama dengan meningkatnya akses digital dan dukungan terhadap ekonomi kreatif desa.

Namun, kontras tampak jelas di Luwu, yang hingga 2024 masih mencatat angka kemiskinan 11%. Ini mengangkat pertanyaan struktural: mengapa wilayah dengan sumber daya mineral, potensi agrikultur tinggi, dan jalur logistik strategis justru tersendat dalam menurunkan angka kemiskinan?

Jawabannya mungkin terletak pada asymmetric growth—fenomena ketika pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh segmen tertentu dalam populasi, tanpa menjangkau basis masyarakat bawah. Dalam bahasa lain, Luwu mengalami apa yang disebut oleh para ekonom sebagai growth without equity.

Jika kita tarik mundur 10 tahun ke belakang, Kabupaten Gowa telah bergerak dari angka kemiskinan 8,27% menuju 6,85% pada 2024—sebuah tren menurun yang dapat dikaitkan dengan intervensi kebijakan fiskal daerah, termasuk program perlindungan sosial berbasis data mikro dan conditional cash transfers.

Namun, statistik ini menyisakan ironi dalam narasi makro Sulawesi Selatan. Kabupaten seperti Pangkajene dan Kepulauan dengan kemiskinan mencapai 12%, atau Jeneponto dan Luwu yang masing-masing 11%, menyuguhkan gambaran disparitas yang mencolok. Tanpa mekanisme redistribusi fiskal dan penguatan kapasitas lokal dalam mengelola APBD secara produktif, angka-angka ini bisa menjadi chronic poverty traps—jebakan kemiskinan jangka panjang yang sulit ditembus.

Adapun Kota Makassar yang mencatat angka kemiskinan terendah (4%) tak hanya karena statusnya sebagai pusat administrasi dan perdagangan, tetapi juga karena intensitas tinggi investasi pendidikan dan infrastruktur digital. Kota Parepare dan Sidrap (5%) menyusul, mencerminkan bahwa daerah dengan fokus pada human capital development mampu menciptakan ketahanan sosial-ekonomi yang lebih adaptif.

Sulsel hari ini adalah mosaik statistik. Ada daerah seperti Soppeng yang secara konsisten menekan kemiskinan tanpa gejolak populasi, ada Barru dan Pinrang yang mencoba bangkit dengan langkah moderat, dan ada Luwu yang tertinggal meski potensinya melimpah. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, tantangan terbesar bukan lagi sekadar menurunkan angka kemiskinan, tapi memastikan bahwa penurunan itu adil, menyeluruh, dan tahan terhadap gejolak eksternal. (*)