Example 650x100

Konawe, Katasulsel.com – Ribuan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Kabupaten Konawe, yang terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) dan Organisasi Masyarakat (Ormas) Tamalaki Wonua Konawe, kembali turun ke jalan, Kamis, (13/2).

Dengan semangat perjuangan yang membara, mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor PT Tani Prima Makmur (PT TPM). Tuntutan mereka jelas: hentikan eksploitasi tenaga kerja lokal dan akhiri praktik ketenagakerjaan yang dinilai tidak sesuai regulasi.

Aksi ini diwarnai dengan orasi lantang serta pengawalan ketat aparat gabungan dari Polres Konawe dan Kodim Kendari. Perwakilan massa aksi juga diundang untuk melakukan audiensi dengan manajemen PT TPM, perangkat daerah, dan masyarakat adat guna merumuskan solusi atas konflik yang telah memanas.

Dalam audiensi tersebut, empat poin penting berhasil dirumuskan dan dituangkan dalam berita acara. Poin-poin tersebut antara lain:

Pertama, meminta pihak perusahaan untuk memberhentikan direktur operasional PT TPM. Kedua, menjamin bahwa karyawan yang ikut dalam aksi unjuk rasa tidak akan dikenai sanksi, sesuai dengan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 137–144.

Lalu, ketiga, menuntut direktur utama perusahaan untuk segera memenuhi tuntutan aksi. Dan, keempat; jika dalam waktu 2 x 24 jam tidak ada keputusan, karyawan dan masyarakat adat akan memblokir akses jalan menuju PT TPM.

Bersambung…

Namun, apakah kesepakatan ini akan benar-benar dijalankan atau hanya menjadi janji kosong? Waktu akan menjadi saksi.

Salah satu isu utama yang disorot adalah praktik perekrutan tenaga kerja dari luar daerah yang dilakukan oleh PT TPM.

Hal ini dinilai melanggar regulasi, termasuk Peraturan Menteri Pertanian (PERMENTAN) No. 3 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, serta bertentangan dengan visi dan misi perusahaan itu sendiri.

Kasman Hasbur, Dewan Pembina KSPN Provinsi Sulawesi Tenggara, menyampaikan kekecewaannya terhadap kebijakan perusahaan yang dianggap mengabaikan masyarakat lokal.

“Kami menuntut agar perusahaan memberikan prioritas kepada masyarakat di lingkar perusahaan untuk bekerja. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, jangan salahkan kami jika esok hari akses jalan menuju perusahaan lumpuh total,” tegasnya.

Selain itu, buruh juga mengecam tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap salah satu staf lokal yang dinilai cacat hukum.

Mereka menuding bahwa PHK ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah.

Hal ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat.

“Kami meminta agar manajer kebun dan direktur operasional mundur dari jabatannya karena gagal membimbing anggotanya dan justru merugikan tenaga kerja lokal,” ujar salah satu perwakilan buruh.

Tidak hanya soal ketenagakerjaan, para buruh dan masyarakat adat juga menyoroti dugaan pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh PT TPM.

Bersambung…

Mereka menduga perusahaan telah menjalankan kegiatan usaha di luar izin yang diberikan serta melakukan pencemaran lingkungan tanpa memberikan kompensasi dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Hal ini bertentangan dengan PERMENTAN No. 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO).

“Kami meminta Pemda Konawe dan DPRD untuk segera meninjau lokasi usaha PT TPM. Jika terbukti melanggar, tindakan tegas harus diambil,” ujar Jhonal Prayoga, Ketua DPC LBH Panglima Kabupaten Konawe yang juga bertindak sebagai kuasa hukum KSPN.

Tuntutan yang diajukan oleh KSPN dan Ormas Tamalaki Wonua Konawe tidak main-main.

Jika dalam waktu 3 x 24 jam tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka berencana menutup seluruh akses kegiatan PT TPM hingga pemilik perusahaan bersedia menemui mereka secara langsung untuk menyelesaikan konflik.

“Jangan salahkan kami jika perekonomian tersendat akibat aksi kami. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan,” ujar Kasman Hasbur dengan nada kesal.

Berikut adalah tuntutan lengkap yang diajukan oleh para buruh:

  1. Menolak keras eksploitasi masyarakat lokal melalui perekrutan tenaga kerja dari luar daerah yang tidak sesuai regulasi (PERMENTAN No. 3 Tahun 2022).
  2. Menolak PHK sepihak terhadap staf lokal yang dinilai cacat hukum (PP No. 35 Tahun 2021).
  3. Meminta manajer kebun dan direktur operasional PT TPM untuk mundur karena dianggap gagal menjalankan tugasnya.
  4. Meminta pemilik perusahaan mengevaluasi kinerja direktur operasional yang dianggap tidak efisien.
  5. Menuntut Pemda Konawe dan DPRD untuk meninjau lokasi usaha PT TPM terkait dugaan pelanggaran izin usaha dan pencemaran lingkungan (PERMENTAN No. 38 Tahun 2020).
  6. Mendesak pemilik perusahaan untuk memulangkan direktur operasional yang dianggap merugikan masyarakat lokal.
  7. Mengancam akan menutup akses kegiatan PT TPM jika tuntutan tidak dipenuhi dalam waktu 3 x 24 jam.

Aksi ini menjadi bukti nyata bahwa buruh dan masyarakat adat di Konawe tidak tinggal diam menghadapi ketidakadilan.

Bersambung…

Mereka bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka, mulai dari ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.

Namun, perjuangan ini tidak akan mudah. Dengan tekanan dari pihak perusahaan dan potensi intervensi aparat keamanan, para buruh harus tetap solid dalam menyuarakan aspirasi mereka.

Apakah tuntutan ini akan didengar? Ataukah akan berakhir seperti banyak kasus serupa lainnya—diredam tanpa solusi nyata? Yang jelas, buruh Konawe telah menunjukkan bahwa suara mereka tidak bisa diabaikan begitu saja.(*)

Laporan: Queto Agatha