Penulis : Ariyanti Aris, S.Kom.I (Jurnalis)

Dalam Undang Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 5 disebutkan: Penyandang disabilitas mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon presiden/wakil presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai penyelenggara pemilu.

Pemilih disabilitas umumnya dibagi ke dalam enam kategori, yakni disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, disabilitas sensorik wicara, disabilitas sensorik netra, dan sensorik rungu.

Sebagai warga negara Indonesia, para penyandang disabilitas juga memiliki hak pilih yang sama dengan warga negara lainnya. UU No.19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas menjamin hak pilih para penyandang disabilitas dalam pemilu. Undang-Undang ini juga menyebutkan negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan hak penyandang disabilitas dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar yang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan dalam pemilu.

Namun faktanya penyandang disabilitas masih menghadapi pelbagai kesulitan. Keluhannya masih sama dari tahun ke tahun. Akses yang belum merata untuk masing-masing kebutuhan kelompok tertentu. Penyelenggara pemilu belum memahami kebutuhan pemilih, TPS yang belum aksesibel, hingga pendataan pemilih di lapangan yang belum inklusif. Difabel nyaris tak pernah ditanya soal kebutuhan di pemilu, bahkan sejak proses pendataan dilakukan.

Masih banyak TPS yang belum aksesibel. Terutama, di daerah-daerah yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan. Letak TPS yang berada jauh dari pusat pemerintahan menjadi masalah tersendiri. Banyak bentuk pelemahan partisipasi dan diskriminasi terhadap disabilitas. Semakin jauh letak TPS dari pusat pemerintahan, maka diskriminasi terhadap kelompok rentan dan disabilitas akan semakin kentara.

Penyelenggara pemilu masih memandang pengertian disabilitas secara sempit, yakni sebatas disabilitas yang dapat dilihat secara fisik, seperti disabilitas daksa dan netra. Disabilitas rungu sering terabaikan.

Pernah ada kejadian, seorang disabilitas rungu menunggu di TPS berjam-jam. Tentu dia tidak mendengar panitia TPS memanggil namanya. Ini hanya satu bukti kecil betapa tidak aware-nya penyelenggara terhadap disabilitas.

Masalah lainnya, kadang tak ada surat suara huruf braille di TPS. Padahal, KPU RI menyediakan template surat suara khusus. Begitu pula, tak ada sosialisasi kepemiluan yang pernah disampaikan kepada organisasi disabilitas, perihal fasilitas surat suara dengan template huruf braille. Kalaupun ada surat suara braille. Namun, tidak digunakan karena minimnya pengetahuan pendamping terkait template braille tersebut.

Potensi pelanggaran yang dilakukan kepada pemilih disabilitas juga patut menjadi perhatian. Misalnya pemalsuan hasil surat suara karena pemilih disabilitas kesulitan menjangkau lokasi TPS. Kehadirannya diwakili oleh yang tidak berhak, atau dipengaruhi untuk memilih orang tertentu dengan cara-cara yang melanggar aturan.

Semua ini menjadi kendala berulang jika sistemnya tak segera dibenahi. Aksesibilitas ke setiap tahapan pemilu, khususnya tahap pendaftaran pemilih, sangat perlu dibenahi, agar hak pilih dan hak partisipasi disabilitas terjamin.

Disabilitas dapat diikutsertakan dalam penyelanggaran proses pemilu, agar hak disabilitas di pemilu dapat lebih terfasilitasi. Penyelenggara pemilu harus memastikan aksesibilitas di setiap TPS, dan tersedianya surat suara braille untuk TPS yang terdapat pemilih dengan disabilitas netra.

Untuk pemilih yang memiliki hambatan penglihatan, sebaiiknya difasilitasi pendamping, dan pemilih dengan hambatan fisik kita antarkan kotak suara itu ke rumah pemilih tersebut. Sedangkan pemilih yang memiliki hambatan pendengaran, diarahkan di TPS tempatnya memilih.

KPU dan Bawaslu wajib memberikan pemahaman kepada petugas hingga level TPS terkait pentingnya memfasilitasi pemilih disabilitas. Sosialisasi regulasi pelayanan hak pilih harus diberikan secara memadai kepada seluruh petugas di lapangan.

Sosialisasi yang lebih massive dengan menggandeng organisasi dan komunitas difabel. Sejumlah organisasi dan komunitas telah terbentuk untuk digandeng sebagai mitra. Seperti Ikatan Disabilitas Indonesia (IDE), Masyarakat Peduli Penyandang Disabilitas (MPPD), Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia, Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia (ITMI), Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (GERKATIN) dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI).

Pembentukan Kampung Pemilu dan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP) harus melibatkan disabilitas.

Petugas juga mesti menyiapkan layanan aduan bagi pemiliih disabilitas yang mengalami kesulitan dalam mengakses hak pilih. Selama ini, tempat menyampaikan keluhan bagi disabilitas itu tidak ada.

Terakhir, aturan dan sanksi baik secara hukum, administrasi, dan kode etik harus ditegakkan kepada siapapun yang melanggar hak-hak disabilitas.

Kaum disabilitas tidak hanya turut tingkat keterpilihan seseorang dalam kontestasi, tetapi juga menentukan peningkatan kualitas pemilu. Tidaklah berlebihan apabila dalam perspektif demokrasi, kaum disabilitas dilabeli sebagai pilar demokrasi.***

Dapatkan berita terbaru di Katasulsel.com